Rabu, Januari 05, 2011

kepemimpinan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama ini, dalam mengatasi sengketa tanah, pemerintah dan pemilik modal cenderung menggunakan pendekatan keamanan dan kekerasan melalui aparat TNI, polisi, bahkan preman. Akibatnya, petani dan masyarakat adat selaku pemilik tanah menjadi tidak berdaya.
Harus diakui, saat ini sektor pertanahan menghadapi beragam masalah yang pelik. Apalagi, jika dikaitkan dengan pengembangan sektor pertanian, perkebunan, dan sebagainya. Masalah itu pertama keterbatasan kemampuan petani dalam menguasai aset tanah. Kondisi ini sebagai akibat dari kebijakan selama rezim Orde Baru, di mana sejumlah warga telah kehilangan tanah/wilayah dan sumber mata pencaharian. Hal itu disebabkan tanah/wilayah tersebut dialihkan ke pengusaha hutan melalui sistem hak guna usaha (HGU) dengan luas yang tidak dibatasi.
Praktik tersebut semakin luar biasa setelah periode 1988. Saat itu terjadi peningkatan pemberian izin lokasi, baik untuk usaha perkebunan kelapa sawit, karet, kakao, dan sebagainya kepada pengusaha. Luas tanah yang dibebaskan pun tidak dibatasi dan seringkali melebihi kapasitas realistis pengusaha sehingga timbul penguasaan lahan yang berlebihan.
Dampak yang timbul tidak saja berbentuk ketimpangan tajam dalam masalah penguasaan tanah. Namun, lebih parah lagi adalah penelantaran tanah dalam jumlah besar sehingga menjadi tidak produktif, monopoli, dan mengurangi peluang usaha ekonomi kecil.
Kini, kenyataan di lapangan memperlihatkan, segelintir orang atau kelompok orang menguasai tanah dalam skala luas. Akan tetapi sebagian besar masyarakat bersusah payah untuk mampu menguasai tanah.
Kondisi ketimpangan penguasaan tanah ini memiliki dampak yang besar, baik secara ekonomis maupun politis. Hal tersebut semakin menyedihkan karena tanah yang dikuasai dalam skala yang luas tidak diimbangi dengan upaya pemanfaatan secara optimal.
Masalah ini memberi indikasi bahwa ketersediaan tanah tidak hanya ditentukan faktor fisik, tapi juga kelembagaan atau kebijakan pemerintah. "Hambatan institusional ini yang justru menyebabkan banyak tanah sebagai sumber daya untuk masyarakat luas menjadi mubazir," ujar Deputi Tata Laksana Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Heru Wijono.
Kedua adalah penyusutan lahan pertanian. Kenyataan ini akibat dari alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri, perumahan, dan kegiatan komersial lainnya. Praktik itu paling banyak terjadi di Pulau Jawa. Padahal, wilayah ini masih menjadi andalan produksi beras di Indonesia.
Penyempitan lahan pertanian itu secara langsung meningkatkan jumlah petani gurem dengan luas pertanian sama atau lebih kecil dari 0,25 hektar. Untuk itu langkah pencegahan dan pengendalian alih fungsi lahan pertanian, terutama sawah, sudah sangat mendesak. Oleh karena itu penyusutan itu jelas merupakan suatu kendala serius bagi pengembangan pertanian di Indonesia.

B. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini yang berjudul Reformasi Kebijakan Agraria pemahaman kepada penulis dan pembaca tentang hal tersebut. Serta bagaimana cara dalam menghadapi hal tersebut di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Teori Reformasi Agraria
“hukum bukan semata-mata hanya rule and logic, akan tetapi social structure and behavior”, artinya, hukum tidak bisa hanya dipahami secara sempit, dalam perspektif aturan-aturan dan logika, akan tetapi juga melibatkan struktur sosial dan prilaku” (Donald Black).
Berangkat dari dasar pemikiran Donald Black, yang mengetengahkan bahwa hukum bukanlah suatu institusi yang statis, ia akan selalu mengalami perkembangan. Kita lihat bahwa hukum itu berubah dari waktu ke waktu. Konsep hukum, seperti “rule of law” sekarang ini juga tidak muncul dengan tiba-tiba begitu saja, melainkan merupakan hasil dari suatu perkembangan tersendiri. Apabila disini dikatakan hukum bukan hanya semata-mata sekumpulan aturan-aturan dan logika, akan tetapi juga melibatkan struktur sosial dan prilaku, maka yang dimaksud dalam konteks ini ialah, bahwa ada hubungan timbal balik yang erat antara hukum dan masyarakat.
Pada ranah yang lebih konkrit lagi, bahwa pembicaraan mengenai hukum dengan struktur masyarakat pada suatu waktu tertentu bermanfaat besar untuk menjelaskan dinamika yang terjadi pada pelapisan sosial masyarakat. Seperti halnya topik yang dihadapkan penulis pada kesempatan ini, yaitu sampai sejauhmana kebijakan pertanahan di Indonesia secara sosiologis dapat mendatangkan kemanfaatan sosial bagi masyarakat.
Tanah sebagai hak dasar setiap orang, keberadannya dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Penegasan lebih lanjut tentang hal itu diwujudkan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Sesuai dengan sifatnya yang multidimensi dan sarat dengan persoalan keadilan, permasalahan tentang dan sekitar tanah seakan tidak pernah surut. Seiring dengan hal itu, gagasan atau pemikiran tentang pertanahan juga terus berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat sebagai dampak dari perkembangan di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya.
Eksistensi tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti dan sekaligus memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat untuk hidup dan kehidupan, sedangkan capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi.
Sebagai karunia Tuhan sekaligus sumber daya alam yang strategis bagi bangsa, negara, dan rakyat, tanah dapat dijadikan sarana untuk mencapai kesejahteraan hidup bangsa Indonesia sehingga perlu campur tangan negara turut mengaturnya. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusional sebagaimana tercantum pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi:
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Tanah sebagai bagian permukaan bumi, mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik sebagai tempat atau ruang untuk kehidupan dengan segala kegiatannya, sebagai sumber kehidupan, bahkan sebagai suatu bangsa, tanah merupakan unsur wilayah dalam kedaulatan negara. Oleh karena itu tanah bagi bangsa Indonesia mempunyai hubungan abadi dan bersifat magis religius, yang harus dijaga, dikelola dan dimanfaatkan dengan baik.
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, tanah telah menjadi salah satu bagian dari pembangunan hukum yang menarik. Hal ini terutama karena sumberdaya tanah langsung menyentuh kebutuhan hidup dan kehidupan manusia dalam segala lapisan masyarakat, baik sebagai individu, anggota masyarakat dan sebagai suatu bangsa.
Dalam optik sosologi hukum, tanah merupakan sebagai bagian dari objek sosial yang mendasar bagi terbentuknya kebijakan pertanahan. Seperti apa yang dikatakan Emile Durkheim, sebagai seseorang sosiolog dengan lebih sederhana ia melakukan pencarian “apa yang mengikat masyarakat itu?”. Dari sinilah berkembang perhatiannya terhadap seluk beluk dan hakikat suatu tatanan (order) sosial. Dengan melihat kenyataan yang diamati dari dinamika struktur sosial masyarakat, maka Durkheim sampai kepada hukum sebagai suatu kenyataan dalam terbangunnya suatu tatanan masyarakat yang dapat meletakkan solidaritas sosial secara fundamental. Manifestasi nyata dari solidaritas tercermin ke dalam hukum, yaitu sebagai lambang yang dapat diamati dan diukur bagi solidaritas sosial.
UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang diterbitkan dalam rangka mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, merupakan kenyataan hukum dalam menjelaskan tujuan dari tanah sebagai social asset dan capital asset. Sebagai undang-undang nasional pertama yang dihasilkan 15 (lima belas) tahun setelah kemerdekaan RI, ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal UUPA merupakan perwujudan dari sila-sila Pancasila.
Dalam perjalanan waktu terjadi pergeseran kebijakan pertanahan dari yang semula berciri populis, kemudian sekarang berkembang ke arah pada kebijakan yang cenderung pro-kapital yang terjadi karena pilihan orientasi kebijakan ekonomi; yang pada suatu saat lebih cenderung menekankan pada pemerataan dan kemudian bergeser ke arah pertumbuhan ekonomi, terutama sejak tahun 1970-an.
Pada awal berlakunya UUPA sudah mulai terasa adanya gejala ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah. Perbandingan antara ketersediaan tanah sebagai sumber daya alam yang langka di satu sisi, dan pertambahan jumlah penduduk dengan berbagai pemenuhan kebutuhannya akan tanah di sisi lain, tidak mudah dicari titik temunya. Dengan perkataan lain, akses untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia itu belum dapat dinikmati oleh setiap orang disebabkan antara lain karena perbedaan dalam akses modal dan akses politik.
Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana sebenarnya makna “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” yang menjadi landasan UUPA itu dipahami dan diterjemahkan secara benar dalam berbagai kebijakan yang mendukung atau relevan dengan bidang pertanahan. Tampaknya pilihan tepat adalah melakukan refleksi terhadap hal-hal yang mendasar daripada sekedar mendata kekurangan peraturan pelaksanaan UUPA yang memang dianggap penting. Tetapi lebih dari itu diperlukan pemikiran yang tidak berhenti pada kuantitas peraturan yang masih diperlukan, namun terlebih pada kualitas kebijakan yang dihasilkan.
Kiranya hal inilah secara sosiologis, akan tampak semakin rumit dengan terbitnya berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang pertanahan menyongsong era perdagangan bebas. Kesadaran akan arti pentingnya melakukan reformasi di berbagai bidang dalam upaya untuk mencari jalan keluar dari krisis ekonomi, maupun sengketa tanah secara horizontal yang mulai dirasakan akhir tahun 1977, telah mendorong pemikiran kearah reformasi kebijakan di bidang pertanahan. Perkembangan yang dinamis tersebut, dikehendaki atau tidak, mendorong kearah perlunya pemikiran yang konseptual dalam rangka mengisi dan mengantisipasi perkembangan hukum tanah secara bertanggung jawab.

B. Liberalisasi Kebijakan Pertanahan; Dinamika Pedesaan Sampai Perkotaan
Liberalisasi ekonomi yang diartikan sebagai sistem perekonomian yang lebih mengarah pada mekanisme pasar merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar lagi. Saat ini yang diperlukan adalah antisipasi terhadap dampak keterbukaan ini, terutama dengan hadirnya berbagai investasi yang mau tidak mau harus memanfaatkan tanah yang merupakan sumberdaya alam yang langka, terutama berkaitan dengan hak/kemudahan yang diberikan, tanpa mengakibatkan kerugian terhadap rakyat.
Intensitas pembangunan yang menuntut penyediaan tanah yang relatif luas untuk berbagai keperluan (pemukiman, industri, dan berbagai prasarana) memaksa alih fungsi tanah pertanian, terutama di daerah pinggiran, menjadi tanah non-pertanian dengan segala konsekuensinya. Perkembangan yang terjadi tersebut boleh dikatakan hampir tidak menyentuh pola kehidupan petani penggarap yang semakin sulit untuk menghindarkan diri dari keterpaksaan melepaskan tanahnya, karena praktik perijinan yang memungkinkan alih fungsi tanah beradasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Daerah Tingkat II yang karena alasan kepentingan pembangunan mengarahkan alih fungsi tanah tersebut.
Secara sederhana konsekuensinya adalah bahwa Pemerintah berkewajiban menyediakan tanah yang diperlukan, baik untuk investasi maupun keperluan pembangunan lainnya, sedangkan tanah harus diambil dari rakyat karena tanah negara dapat dikatakan sudah sulit untuk dijumpai. Akibat selanjutnya adalah, bahwa tanpa intervensi dari Pemerintah, akses rakyat terhadap tanah baik di perdesaaan maupun di perkotaan, menjadi semakin berkurang.
Sementara itu dikalangan rakyat petani masih dapat dilihat kesenjangan antara mereka yang memiliki tanah kurang dari dua hektar dibandingkan dengan mereka yang memiliki tanah seluas dua hektar atau lebih. Pemilikan tanah dalam batas minimum itu pun masih dimungkinkan untuk dipecah menjadi bagian yang lebih kecil secara warisan. Hubungan hukum yang terjadi yang berkenaan dengan pemilikan dan penguasaan tanah pertanian pada umumnya dilakukan melalui lembaga gadai tanah, bagi hasil, atau penyakapan.
Walaupun ketentuan tentang gadai dan bagi hasil telah diterbitkan seusia UUPA, namun hubungan hukum yang terjadi pada umumnya mendasarkan pada norma-norma hukum setempat yang tidak tertulis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terhadap hubungan hukum tersebut masih diperparah dengan gejala pemilikan tanah secara guntai (absentee), dan kadang-kadang disertai dengan pelanggaran batas maksimum, yang dalam kenyataannya justru memberikan akses terhadap mereka yang dari segi kehidupannya tidak tergantung pada usaha pertanian.
Ketimpangan serta ketidakadilan yang dapat terjadi karena kurang berfungsinya secara efektif ketentuan hukum yang ada atau yang dilakukan melalui penyelundupan hukum itu menimbulkan pertanyaan: apakah tidak sejogjanya berbagai ketentuan yang ada tersebut ditinjau kembali untuk dilihat relevansinya dengan perkembangaan keadaan dan disempurnakan sebagaimana mestinya? Disamping itu tentu diperlukan upaya untuk menegakkan peraturan yang ada secara konsekuen dan konsisten.
Sebagai perbandingan, konservasi tanah pertanian di Filipina dilakukan melalui upaya Departemen Pertanian yang disebut Integrated Protected Area System (IPAS), yang bertujuan untuk melindungi tanah pertanian dan perubahan penggunaan yang kurang bertanggung jawab. Alih fungsi tanah pertanian hanya dapat dilakukan melalui keputusan melakukan relaksifikasi tanah oleh pemerintah daerah setelah melewati dengar pendapat yang intensif. Perubahan fungsi tanah pertanian tersebut berkisar antara lima persen sampai sepuluh persen dari keseluruhan tanah pertanian yang ada, tergantung dari kelas atau tingkatan perkotaan tersebut. Tanah pertanian hanya boleh dirubah fungsinya apabila tanah tersebut tidak sesuai lagi untuk usaha pertanian atau apabila nilai ekonomis yang diperoleh akan lebih besar jika tanah tersebut dipergunakan untuk pemukiman, perdagangan, atau industri sesuai dengan keputusan DPR setempat.
Uraian di atas lebih difokuskan pada situasi tekanan terhadap persediaan tanah pertanian, utamanya di pulai Jawa namun, kondisi di luar Jawa pun ternyata sudah memerlukan perhatian yang seksama. Sebagai contoh, di daerah Kalimantan barat yang di dominasi wilayah hutan, distribusi penguasaannya (HPH, HTI, perkebunan, transmigrasi, dan lain-lain) seringkali berakibat pada pengurangan akses masyarakat setempat terhadap tanah. Mengingat bahwa agro-industri diwilayah tersebut menjanjikan prospek yang cerah, kepentingan dan akses masyarakat setempat terhadap tanah perlu mendapatkan perlindungan agar tidak terdesak sama sekali. Hanya dengan pemahaman yang arif terhadap struktur masyarakat setempat, dan bagaimana kelembagaan yang ada berfungsi dalam masyarakat tersebut dengan hubungannya satu sama lain, serta memahami presepsi dan ekspektasi mereka terhadap hak atas tanahnya kebijaksanaan terhadap pendistribusian tanah tidak akan merugikan masyarakat setempat.
Disamping itu, distribusi tanah di perkotaan bukannya tidak mengalami masalah yang delematis. Salah satu contohnya kelemahan dalam penerapan manajemen tanah perkotaan tampak dari meningkatnya harga tanah yang mendorong timbulnya spekulasi, kelangkaan pengembangan tanah perkotaan untuk pemukiman, serta menjamurnya pemukiman liar. Pada umumnya, tanah perkotaan itu diperoleh melalui proses alih fungsi tanah pertanian, baik yang dilakukan Pemerintah maupun pidak swasta. Tersedianya sistem informasi pertanahan yang handal sangat diperlukan untuk mendorong manajemen pertanahan yang efesien dalam arti penggunaan tanah secara optimal.
Tidak jauh berbeda dengan akses tanah dipedesaan, di perkotaanpun akses rakyat jelata terhadap sebidang tanah untuk perumahan boleh dikatakan sangat sulit, namun di sisi lain terdapat badan hukum atau perorangan yag menguasai tanah perkotaan secara berlebihan dengan maksud investasi atau spekulasi. Walaupun sudah diisyaratkan UU 56/1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian bahwa mengenai batas maksimum tanah perkotaaan akan diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah (PP), namun PP termaksud sampai saat ini belum kunjung terbit.
Distribusi penguasaan tanah yang timpang telah menunjukkan dampak yang merugikan. Penguasaan tanah untuk industri dan pemukiman yang berskala besar telah memaksa alih fungsi tanah pertanian dengan segala konsekuensinya. Apakah dengan sendirinya penguasaan tanah secara besar-besaran itu harus dihentikan? Kiranya yang diperlukan dalam hal ini adalah sikap tegas dalam menegakkan kebijakan yang korektif, dalam arti kemampuan untuk pengendaliannya. Sudah saatnya pula Pemerintah meningkatkan berbagai upaya intervensi melalui kebijakan fiskal, penatagunaan tanah, pembentukan lembaga yang berfungsi sebagai Bank Tanah serta upaya lain. Dalam upaya pengendalian harga tanah karena harga tanah jelas berdampak pada akses seseorang tehadap sebidang tanah.
Dengan memahami secara utuh hubungan suatu masyarakat dengan tanahnya, akan terbuka kesempatan untuk melakukan komunikasi yang efektif serta akan memberikan peluang bagi masyarakat setempat untuk semakin terbuka terhadap perubahan dengan hal-hal baru yang positif dan bermanfaat bagi mereka, bukan melalui cara-cara yang bersifat paksaan, tetapi dengan jalan mengakui keberadaan mereka dan menghormati hak-haknya. Dalam kaitan ini seyogyanya dipahami bahwa keharusan untuk mengeluarkan suatu wilayah (enclave) yang secara nyata telah dimiliki oleh suatu masyarakat hukum merupakan hal yang sewajarnya dilakukan untuk menghindarkan tumpang tindihnya penguasaan tanah.
Dengan demikian, maka sikap yang diperlukan dalam menghadapi liberalisasi ekonomi dan dampaknya pada distribusi penguasaan tanah adalah sikap terbuka terhadap perubahan, antisipatif dalam merancang peraturan yang diperlukan, tetapi selektif menerapkan konsep-konsep yang ada, dan mengingat bahwa hukum dilihat sebagai satu sistem maka perancangan peraturan perundang-undangan haruslah menunjukkan cara berfikir yang holistik sehingga tidak terjadi inkonsistensi antara peraturan perundang-undangan yang membawa akibat ketidakpastian hukum.
C. Falsafah UUPA Terhadap Fungsi Sosial Hak atas Tanah
Memasuki abad ke-21, dalam usianya yang ke-36, falsafah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang diwujudkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang mendukungnya, dipertanyakan kembali. Setidaknya terdapat dua kelompok yang mewakili kecenderungan pemikiran yang berbeda terhadap orientasi kebijakan saat ini dan kebijakan yang akan dating. Penggunaan berbagai istilah, misalnya; reformasi, amandemen, ataupun revisi UUPA sesuai dengan defenisi masing-masing menyiratkan adanya keinginan untuk melihat kembali apakah falsafah UUPA masih relevan atau sudah saatnya ditinggalkan.
Sebagai landasan kebijakan pertanahan, falsafah UUPA yang dilandaskan pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 ditujukan untuk tercapainya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat dalam kaitannya dengan perolehan dan pemanfaatan sumber daya alam, khususnya tanah. Perbedaan pendapat tentang relevansi falsafah UUPA yang didasarkan pada kenyataan empiris tampak semakin tajam seiring dengan kebijakan deregulasi menyongsong era industrialisasi yang antara lain ditujukan untuk semakin menarik investasi modal asing.
Kelompok populis melihat bahwa dalam perkembangannya, UUPA melalui berbagai kebijakan yang ada telah semakin kurang mampu mengayomi hak-hak masyarakat. Sementara disisi lain, UUPA itu makin memberikan peluang atau kemudahan kepada mereka yang mempunyai akses terhadap modal dan akses politik dengan segala dampaknya. Gejala ketidakadilan berupa berkurangnya tanah pertanian dengan disertai penggusuran, hilangnya mata pencaharian petani, terancamnya pulau jawa sebagai gudang beras bertambahnya para land refugee, unsur spekulasi dalam penguasaan tanah yang dilakukan oleh pengembang perumahan dan pengusaha kawasan industri hanyalah beberapa contoh yang menjadikan keprihatinan utama kelompok populis.
Kenyataan empiris tersebut mendorong kelompok ini untuk mengupayakan peninjauan kembali berbagai kebijakan pertanahan yang berdampak terhadap ketidakadilan dan kesenjangan sosial. Sebaliknya kelompok yang cenderung berfikiran kapitalis justru berpendapat bahwa UUPA kurang tanggap mengantisipasi arus penanaman modal asing, kurang mendorong daya saing, kurang terbuka dan ketinggalan jaman, serta kurang memberi kelonggaran terhadap penanaman modal asing dan oleh karena itu UUPA perlu di revisi.
Dikotomi cara pandang terhadap UUPA sangat terkait erat pada implementasi fungsi sosial dan ekonomi hak atas tanah. Kecenderungan untuk memandang tanah lebih pada nilai ekonomisnya semata, yakni tanah sebagai barang dagangan yang tentunya lebih mudah dikuasai oleh mereka yang mempunyai kelebihan modal dan mengakibatkan ketimpangan distribusi penguasaan tanah karena perbedaan akses, jelas tidak sesuai dengan jiwa UUPA.
Dasar pemikiran Pasal 6 UUPA disebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ketentuan tersebut mendasari sifat kebersamaan atau kemasyarakatan dari setiap hak atas tanah. Dengan fungsi sosial tersebut, hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang tidak dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan pemilik sekaligus bagi masyarakat dan negara. Ketentuan tersebut tidak berarti kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum masyarakat. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan harus saling mengimbangi hingga tercapainya tujuan pokok, yaitu kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.
Konsep fungsi sosial hak atas tanah sejalan dengan hukum adat yang menyatakan bahwa tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat adalah tanah kepunyaan bersama seluruh warga masyarakat, yang dimanfaatkan untuk kepentingan bersama bagi warga masyarakat bersangkutan. Artinya kepentingan bersama dan kepentingan orang per orang harus saling terpenuhi dan penggunaannya dilakukan bersama-sama di bawah pimpinan penguasa adat. Untuk dapat memenuhi kebutuhan, setiap warga diberi kesempatan untuk membuka, menguasai, dan memanfaatkan bagian-bagian tertentu dari tanah adapt (ulayat). Dengan demikian, hak atas tanah menurut hukum adat bukan hanya berisi wewenang tetapi juga kewajiban untuk memanfaatkannya. Konsep pemilikan tanah menurut hukum adat tersebut kemudian direduksi dalam UUPA sebagai hukum tanah nasional.
Dengan demikian, tanah yang dimiliki oleh seseorang tidak hanya berfungsi bagi pemilik hak itu, tetapi juga bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sebagai konsekuensinya, penggunaan tanah tersebut tidak hanya berpedoman pada kepentingan pemegang hak, tetapi juga harus mengingat dan memperhatikan kepentingan masyarakat. Dengan catatan menjalankan prinsip keseimbangan kepentingan. Untuk itu, perlu adanya perencanaan, peruntukan, dan penggunaan hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UUPA. Artinya dengan menggunakan tanah sesuai rencana yang telah ditetapkan oleh Pemerintah berarti fungsi sosial atas sesuatu hak atas tanah telah terpenuhi.
Lebih jauh dari pada itu, bahwa fungsi sosial hak atas tanah mewajibkan para pemegang hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, yakni keadaan tanahnya serta sifat dan tujuan pemberian haknya. Apabila kewajiban tersebut diabaikan akan mengakibatkan hapusnya atau batalnya hak yang bersangkutan. Jika sesuatu hak atas tanah ditelantarkan maka haknya akan hapus dan tanahnya menjadi tanah negara. Berkaitan dengan fungsi sosial tersebut maka tanah tidak boleh dijadikan objek investasi semata-mata. Tanah yang dijadikan objek spekulasi, bertentangan dengan fungsi sosial karena akan menambah kesulitan dalam pelaksanaan pembangunan.
D. Hak Milik Atas Tanah Dalam Perspektif Sosiologi Hukum
Bersumber pada hukum adat sebagai sumber utama UUPA/Hukum Tanah Nasional, maka Hak Milik didefenisikan sebagai hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA. Memahami lebih jauh hak milik atas tanah, perlu kita tinjau berbagai konsepsi hukum meliputi konsepsi hukum tanah adat, konsepsi hukum tanah barat dan konsepsi hukum tanah feodal serta konsepsi hukum tanah lainnya.
Menurut hukum adat, hak milik atas tanah pada awalnya diperoleh dengan membuka tanah. Selanjutnya pemilikan tanah berkelanjutan dan dapat dijual belikan, diwariskan, dihibahkan, digadaikan dan sebagainya. Konsepsi hukum tanah adat yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat Indonesia, mengedepankan keseimbangan antara “kepentingan bersama” dengan “kepentingan perseorangan”. Pemilikan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan keselarasan, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 6 UUPA bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Menurut Sumantri, bahwa berbeda dengan konsepsi hukum tanah Barat dasarnya adalah “Individualisme” dan “liberalisme”. Secara asali individualisme adalah merupakan suatu ajaran yang memberikan nilai utama pribadi, sehingga masyarakat hanyalah merupakan suatu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi. Di dalam sistem hukum Belanda hak perorangan tersebut dinamakan “Hak Eigendom” dimana Eigemnya dapat berbuat apa saja dengan tanah itu baik menjual, menggadaikan, menghibahkan, menggunakan atau menelantarkan, bahkan merusakknya asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau hak orang lain.
Konsepsi komunis yang berkembang sejak pertengahan abad ke-19 melalui manifesto komunis oleh Karl Max dan Frederick Engels sangat berbeda dengan konsepsi individualisme liberal. Menurut konsepsi ini terjadinya kemelaratan sebagian besar rakyat karena hasil produksi tidak terbagi secara merata. Dan hal ini disebabkan karena tanah dan alat-alat produksi lain yang dimiliki orang perorangan. Dengan demikian maka tanah dan alat-alat produksi yang lain harus dimiliki bersama oleh rakyat supaya hasil produksi terbagi secara merata. Sedangkan dalam sistem hukum tanah yang berkonsepsi feodal, hak penguasaan yang tertinggi adalah “Hak Milik Raja”. Semua tanah di seluruh wilayah negara adalah milik raja. Tidak ada lagi penguasaan atas tanah yang setingkat hak milik, karena hak-hak penguasaan yang lain bersumber pada Hak Milik Raja dan mereka hanya pemakai/penggarap.
Jelas kiranya bahwa hal-hal yang diajarkan dalam berbagai konsepsi tersebut tidak sesuai hukum adat/nilai-nilai budaya rakyat Indonesia yang mengedepankan keseimbangan. Hak milik atas tanah yang dianut dalam hukum tanah nasional menjamin keseimbangan kepentingan individu dan kebersamaan. Pengkajian berbagai faktor yang merupakan variabel penentu kepastian hukum dilakukan melalui studi pustaka maupun penelitian langsung guna menemukan realitas hukum dalam masyarakat.
Dilihat dari kajian sosiologi hukum yang dimaksudkan untuk mengkaji dan menganalisis realitas hukum dan konsistensi tujuan pendaftaran tanah. Belum lahirnya peraturan pemerintah tentang terjadinya hak milik menurut hukum adat dan Undang-undang tentang hak milik tanah, kajian dilakukan terhadap peraturan perundangan yang ada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 UUPA. Kajian diarahkan terhadap variabel-variabel yang relevan meliputi landasan hukum, peraturan perundang-undangan, asas-asas pendaftaran tanah, kebijakan pertanahan, dan lain-lain (das sollen), dan selanjutnya dilakukan pengkajian variabel-variabel penentu lahirnya kepastian hukum dalam realitas masyarakat (das sein).
Sistem Pendaftaran Tanah Indonesia yang menganut stelsel negatif dengan tendensi positif, intinya adalah segala apa yang tercantum dalam buku tanah dan sertifikat, berlaku sebagai tanda bukti hak yang kuat sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar).
Beberapa hal yang merupakan faktor penentu lahirnya kepastian hukum, dapat dikelompokkan ke dalam landasan Yuridis-Normatif, landasan sosioyuridis dan kebijakan pertanahan. Faktor-faktor tersebut secara formil maupun materiil mempunyai peranan yang sangat menentukan timbulnya kepastian hukum hak milik atas tanah yang telah memperoleh sertifikat. Hal ini sesuai dengan asas nemo plus juris yang mendasari sistem pendaftaran tanah Indonesia yang menganut stelsel negatif dengan tendensi positif, yaitu negara tidak menjamin kebenaran data yang diperoleh dari pemohon hak tanah dari data itu. Kebenaran hukum ditentukan oleh hakim dalam proses peradilan.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hak milik tanah yang sudah terdaftar dan memperoleh sertifikat telah mendapat jaminan kepastian hukum hak tanahnya. Kepastian hukum yang dimaksudkan meliputi kepastian hak, kepastian objek dan kepastian subjek serta proses administrasi penerbitan sertifikat. Hal ini jelas dinyatakan sebagai salah satu tujuan pendaftaran tanah di Indonesia yang bersifat rechts kadaster.
Perwujudan peradilan sosial dibidang pertanahan dapat dilihat dalam prinsip-prinsip dasar UUPA, yakni prinsip ‘negara menguasai’, prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah masyarakat hukum adat, asas fungsi sosial semua hak atas tanah, prinsip landreform, prinsip perencanaan dalam penggunaan tanah dan upaya pelestariannya, dan prinsip nasionalitas. Prinsip dasar ini kemudian dijabarkan dalam berbagai produk berupa peraturan perundang-undangan dan kebijakan lainnya. Dalam praktik dapat dijumpai berbagai peraturan yang bias terhadap kepentingan sekelompok kecil masyarakat dan belum memberikan perhatian serupa kepada kelompok masyarakat yang lebih besar. Bila kita sepakat bahwa berbagai kebijakan pertanahan harus ditujukan bagi tercapainya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat, maka beberapa hal perlu diperhatikan.
Yang menjadi bagian awal ialah, prinsip-prinsip dasar UUPA tidaklah bersifat statis. Dinamika perkembangan selama 36 tahun menghendaki diadakannya interpretasi dan reinterpretasi terhadap prinsip-prinsip tersebut secara bertanggungjawab. Menghadapi perkembangan baru, kebijakan yang ditempuh haruslah dilaksanakan dengan tetap taat asas, yakni sesuai dengan konsepsi yang melandasinya, namun akomodatif terhadap perkembangan tersebut.
Berkenaan dengan hak atas tanah masyarakat hukum adat, kearifan sangatlah diperlukan sejauhmana negara mengakui hak-hak tersebut disamping menekankan perlunya dipenuhi kewajiban yang melekat pada hak itu? Disamping prinsip-prinsip tersebut diatas, Pemerintah mempunyai komitmen untuk memberikan kepastian hukum terhadap hak atas tanah yang dipunyai oleh orang perseorangan atau badan hukum berupa upaya pendaftaran tanah dengan tujuan untuk lebih memberikan perlindungan hukum pemegang hak atas tanah.
Kemudian prinsip selanjutnya, tidak perlu ada kekhawatiran bahwa keberpihakan kepada kepentingan masyarakat banyak sesuai dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, secara langsung berakibat berkurangnya perhatian kepada investasi modal asing. Kebijakan apa pun yang dibuat semestinya memerhatikan keseimbangan antara berbagai kepentingan.
Dalam optik sosiologi hukum, keinginan untuk melakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan pertanahan yang menyangkut hak milik atas tanah, seyogianya dipahami sebagai keinginan untuk menilai secara arif apakah produk hukum yang telah ada dan sedang dirancang terutama dalam rangka menarik investasi tidak berat sebelah. Sepanjang falsafah UUPA masih relevan, peninjauan kembali bukanlah ditujukan kepada UUPA, melainkan terutama dimaksudkan untuk mengganti, menambah, atau menyempurnakan peraturanperaturan pelaksanaan UUPA.
Di Indonesia ini, masih perlu perhatian yang lebih banyak bagi sebagian terbesar lapisan masyarakat, yang belum sepenuhnya mendapatkan haknya untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah. Tanpa mengurangi arti penting menyediakan peranti hukum untuk mendukung industrialisasi dan meningkatkan daya saing, maka penegasan orientasi kebijakan sangatlah diperlukan.
Menggeser kebijakan pertanahan ke arah pemikiran yang cenderung kapitalis di mana tanah ditempatkan pada fungsi ekonomi dan aksesnya diserahkan pada mekanisme pasar, akan semakin menjauhkan diri terhadap pemberian makna konkret tercapainya keadilan sosial yang menjadi misi utama UUPA. Dengan demikian perlu adanya gagasan progresif menuju reformasi kebijakan pertanahan.
E. Menuju Reformasi Kebijakan Pertanahan Progresif
Adalah Satjipto Rahardjo, atau Prof. Tjip panggilan akrab beliau yaitu seseorang yang dijuluki Begawan sosiologi hukum Indonesia yang pertama kali mencetuskan gagasan hukum progresif. Gagasan ini kemudian mencuat kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih lanjut.
Apa yang digagas oleh Prof. Tjip ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum di Indonesia. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.
Dilihat dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah berhenti.
Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai yang sedang mencari jati diri–bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20. Dalam proses pencariannya itu, Prof. Tjip kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia adalah dominasi paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat.
Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip dasar kebijakan di bidang pertanahan yang telah digariskan oleh Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria atau UUPA. Seiring dengan semakin derasnya kecenderungan global terhadap penguasaan dan penggunaan tanah, semakin dirasakan pula perlunya melakukan pembaruan pola pikir yang mendasari terbitnya berbagai kebijakan di bidang pertanahan selama ini.
Pertambahan jumlah penduduk kelangkaan tanah dan kemunduran kualitasnya, alih fungsi tanah dan semakin tajamnya konflik dalam penggunaan tanah antarberbagai aktor pembangunan dalam berbagai tingkatan; kemiskinan, sempitnya lapangan kerja dan akses yang timpang dalam perolehan dan pemanfaatan tanah, serta semakin terdesaknya hak-hak masyarakat hukum adat, hanyalah beberapa contoh kenyataan yang harus dihadapi saat ini.
Dalam perjalanan waktu, setidaknya ada titik balik perubahan sebagai dasar berpijak untuk pembuatan kebijakan pertanahan progresif di masa yang akan datang. Kebijakan di bidang pertanahan ditujukan untuk, yakni efisiensi dan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, pelestarian lingkungan serta pola penggunaan tanah yang berkelanjutan. Untuk tercapainya efisiensi dapat ditempuh berbagai pendekatan dengan berpijak pada aspek urgensi, konsistensi, dan resiko.
Tujuan untuk tercapainya keadilan sosial dapat dijabarkan melalui beberapa aspek misalnya, peran tanah sebagai dasar untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan, identifikasi pihak-pihak yang dirugikan dalam berbagai konflik kepentingan serta sikap terhadap tanah-tanah masyarakat hukum adat.
Tujuan yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup menghendaki tersedianya peraturan tentang penggunaan tanah yang komprehensif, kemampuan menggali peran serta masyarakat setempat dalam pengelolaan sumber daya alam, serta koordinasi cabang-cabang administrasi yang efektif.
Menerjemahkan orientasi kebijakan dengan memperhatikan ketiga tujuan tersebut masih belum mencukupi. Diperlukan penjabaran berbagai aktivitas yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Berbagai sarana tersebut beruapa tersedianya peraturan perundang-undangan yang mampu menjabarkan berbagai aspek dari orientasi kebijakan dan tujuannya, yakni:
(1) demokratisasi berupa pengawasan terhadap kekuasaan, jaminan stabilitas politik sebagai akibat demokratisasi, dan perlindungan hak asasi manusia;
(2) peningkatan kepastian hukum melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang diperlukan dan pelaksanaannya konsisten;
(3) pemberdayaan kelembagaan yakni memperkuat administrasi pertanahan, meningkatkan kemampuan sumber daya manusia pendukung dan transparansi dalam proses pembuatan keputusan;
(4) meningkatkan insentif ekonomi dengan berupa efektifitas perpajakan dan transparansi di dalam pasar tanah; dan
(5) menetapkan batas-batas kewenangan pemerintah berupa perumusan tanggungjawab pokok dan pengembangan model kemitraan antara swasta dan pemerintah.
Pada akhirnya, kebijakan pertanahan apapun yang diterbitkan berdasarkan orientasi serta tujuan dan sarana yang mendukung itu tidak akan mencapai sasaran bila tidak diterima dan disikapi serta ditindaklanjuti oleh para pelaksananya secara konsisten. Reformasi dalam arti perubahan pola pikir dan tindakan aparat pelaksana dalam fungsi pelayanan kepada masyarakat, sangat dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan kebijakan pertanahan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam rangka menyempurnakan/merancang peraturan perundang-undangan perlu dilatarbelakangi dengan orientasi yang jelas dan tujuan yang hendak dicapai, yang secara simultan terdiri dari tiga komponen, yakni; pertumbuhan ekonomi serta pemerataan; keadilan social, serta pelestaraian lingkungan dan pola penggunaan tanah yang berkelanjutan. Akhirnya, peraturan perundang-undangan yang terwujud diharapkan dapat mencerminkan perlindungan hak asasi manusia, peningkatan kepastian hukum, transparansi dalam pengawasan, dan sistem pertanggungjawaban yang jelas, sebagai wujud konkrit menuju reformasi kebijakan pertanahan progresif.
Reformasi agraria mutlak perlu untuk memfasilitasi pertanian berkelanjutan sebagai basis dari agribisnis di pedesaan. Termasuk dalam hal ini antara lain: kepastian kepemilikan lahan yang menjadi salah satu faktor resiko usaha pertanian saat ini, pencegahan fragmentasi dan upaya konsolidasi lahan pertanian, pengendalian konversi lahan pertanian, serta pengaturan sistem sakap-menyakap dan bagi hasil lahan pertanian. Seiring dengan pembaruan agraria, perlu dilakukan program penguatan hak rakyat atas tanah dan pemberdayaannya. Program ini harus sinergi dengan melibatkan semua instansi yang terkait.
Tujuannya agar tanah dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan cara memberdayakan petani melalui penguatan hak atas tanah. Langkah yang ditempuh adalah pertama, redistribusi tanah dengan pemberian hak milik atas tanah (termasuk sertifikat tanah); kedua, konsolidasi tanah;
B. Saran


Kebijakan agraria sehatusnya mampu untuk memberikan manfaat yang baik bagi masyarakat di indonesia agar setiap permasalahan dapat di selesaikan dengan baik dan tidak mengalami permasalahan yang merugikan pihak tertentu.
Oleh karena itu pemerintah sangat berperan aktif dalam menetapkan kebijakan tersebut, harus benar-benar memperbaiki agraria dengan reformasi yang dijalankan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.
Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia, Malang, 2007.
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jambatan, Jakarta, 1994.
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2006.
____________________, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan, Kompas, Jakarta, 2007
____________________, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta, 2008.
Rusmadi Murad, Menyikap Tabir Masalah Pertanahan, Mandar Maju, Bandung, 2007.
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum “perkembangan dan metode masalah”, Muhammadiyah University Press, Universitas Muhammadiyah Surakarta,2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar