Selasa, Januari 25, 2011

SINOPSIS KARIMUN


SINOPSIS KABUPATEN KARIMUN

Kabupaten Karimun adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Ibu kota Kabupaten Karimun terletak di Tanjung Balai Karimun. Pada saat ini Kabupaten Karimun telah memiliki 9 Kecamatan dan termasuk kedalam Provinsi Kepulauan Riau. Secara Geografis letak Kabupaten Karimun berbatasan langsung dengan dua Negara yaitu Malaysia dan Singapura yang hanya dipisahkan oleh Selat Malaka. Peningkatan Iman dan Taqwa adalah azam kabupaten karimun yang pertama, dengan Upaya menanamkan sikap mental berbudi luhur dan berakhlak mulia serta memiliki sandaran vertikal yang kokoh sehingga pelaksanaan pembangunan akan lebih terarah & bertanggung jawab.
Meski hidup dalam berbagai suku dan agama kabupaten kaimun masih mampu untuk menjaga hubungan satu sama lain. Sebagai daerah kepulauan, Kabupaten Karimun memiliki 245 pulau dimana 3 (tiga) diantaranya merupakan pulau-pulau yang besar, yakni: Pulau Karimun, Pulau Kundur, Pulau Sugi. Pembangunan Ekonomi yang Berdimensi Kerakyatan adalah azam kabupaten karimun yang kedua, yang  Upaya untuk meningkatkan pendapatan & kesejahteraan masyarakat, antara lain peningkatan sarana & prasarana produksi, sehingga pertumbuhan ekonomi berlangsung secara sinergis dengan pemerataan pendapatan.
Kabupaten karimun adalah daerah yang sangat memiliki potensi dalam memajukan daerahnya. Dengan dipimpin oleh pemimpin yang arif dan budiman maka apa yang diharapkan masyrakat dapat tercapai sesuai dengan harapan. Berpotensi sebagai daerah yang  mampu untuk bersaing dengan daerah yang lain, maka sumber daya manusia juga harus mendapatkan perhatian, yang sesuai dengan azam yang ke tiga kabupaten karimun sehingga Upaya untuk mempersiapkan SDM yang berkualitas, sehingga mampu menggali & mengembangkan aset & potensi yang ada.
Kabupaten karimun memiliki budaya asli melayu yang sampai saat ini masih mampu untuk dipertahankan, namun generasi penerus juga perlu untuk peduli dan memperlajari kebudayaan tersebut, sehingga azam kabupaten karimun yang ke empat dapat terwujud yaitu,  Pengembangan Seni dan Budaya adalah Upaya menggali khazanah budaya melayu yang merupakan ciri khas daerah sehingga mampu mempertahankan kepribadian dengan nilai luhur bangsa dari pengaruh & tantangan yang datang dari luar.

Minggu, Januari 09, 2011

KEPULAUAN RIAU





Kondisi geografis Kepulauan Riau
Secara geografis provinsi Kepulauan Riau berbatasan dengan negara tetangga, yaitu Singapura, Malaysia dan Vietnam yang memiliki luas wilayah 251.810,71 km² dengan 96 persennya adalah perairan dengan 1.350 pulau besar dan kecil telah menunjukkan kemajuan dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Ibukota provinsi Kepulauan Riau berkedudukan di Tanjung Pinang. Provinsi ini terletak pada jalur lalu lintas transportasi laut dan udara yang strategis dan terpadat pada tingkat internasional serta pada bibir pasar dunia yang memiliki peluang pasar.
Sumber daya alam
Kepri memiliki potensi sumber daya alam mineral dan energi yang relatif cukup besar dan bervariasi baik berupa bahan galian A (strategis) seperti minyak bumi dan gas alam, bahan galian B (vital) seperti timah, bauksit dan pasir besi, maupun bahan galian golongan C seperti granit, pasir dan kuarsa.
Potensi daerah
KelautanSebagai provinsi kepulauan, wilayah ini terdiri atas 96 % lautan. Kondisi ini sangat mendukung bagi pengembangan usaha budidaya perikanan mulai usahapembenihan sampai pemanfaatan teknologi budidaya maupun penangkapan. Di Kabupaten Karimun terdapat budidaya Ikan kakap, budidaya rumput laut, kerambah jaring apung. Kota Batam, Kabupaten Bintan, Lingga, dan Natuna juga memiliki potensi yang cukup besar di bidang perikanan. Selain perikanan tangkap di keempat Kabupaten tersebut, juga dikembangkan budidaya perikanan air laut dan air tawar. Di kota Batam tepatnya di Pulau Setoko, bahkan terdapat pusat pembenihan ikan kerapu yang mampu menghasilkan lebih dari 1 juta benih setahunnya. Di Kota Batam tepatnya didaerah telaga punggur, ada satu pelabuhan perikanan yang dikelola murni oleh swasta . Pelabuhan Perikanan Swasta Telaga Punggur diresmikan pada tanggal 08 Januari 2010 oleh Menteri Kelautan dan Perikanan R.I Dr. Ir. H. Fadel Muhammad. Letak pelabuhan perikanan swasta Telaga Punggur sangat strategis karena berhadapan dengan jalur lintas kapal penangkapan ikan antara Propinsi Kepri dan Natuna, ZEEI , Laut Cina Selatan serta keberadaan pelabuhan perikanan swasta Telaga Punggur di Kota Batam sangat dekat dengan negara Singapura yang dapat meningkatkan ekspor hasil laut dan menambah pendapatan asli daerah.
Peternakan
Potensi di bidang peternakan difokuskan pada ternak itik, ternak sapi, ternak ayam dan ternak kambing yang umumnya masih dilaksanakan oleh peternakan kecil.
Pertanian
Hampir diseluruh wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Riau berpotensi untuk diolah menjadi lahan pertanian dan peternakan mengingat tanahnya subur. Sektor pertanian merupakan sektor yang strategis terutama di Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun dan Kota Batam. Disamping palawija dan holtikultura, tanaman lain seperti kelapa, kopi, gambir, nenas serta cengkeh sangat baik untuk dikembangkan. Demikian juga di Kabupaten Kepulauan Riau dan Lingga sangat cocok untuk ditanami buah-buahan dan sayuran. Di beberapa pulau sangat cocok untuk perkebunan kelapa sawit.
Pariwisata
Provinsi Kepulauan Riau merupakan gerbang wisata dari mancanegara kedua setelah Bali. Jumlah wisatawan asing yang datang berkunjung mencapai 1,5 juta orang pada tahun 2005. Objek wisata di Provinsi Kepulauan Riau antara lain adalah wisata pantai yang terletak di berbagai kabupaten dan kota di Kepri., dan  di kota Batam, Pantai Pelawan di Kabupaten Karimun, Pantai Lagoi, Pantai Tanjung Berakit, Pantai Trikora, dan Bintan Leisure Park di kabupaten Bintan. Kabupaten Natuna terkenal dengan wisata baharinya seperti snorkeling.
Selain wisata pantai dan bahari, provinsi Kepulauan Riau juga memiliki objek wisata lainnya seperti cagar budaya, makam-makam bersejarah, tarian-tarian tradisional serta event-event khas daerah.






Sabtu, Januari 08, 2011

SIAPA KAH PEMIMPIN YANG AKAN MERUBAH INDONESIA MENJADI BAIK....??????







BIROKRASI POLITIK

Birokrasi ialah alat kekuasaan bagi yang menguasainya, dimana para pejabatnya secara bersama-sama berkepentingan dalam kontinuitasnya. Menurut Weber, ia memandang birokrasi sebagai arti umum, luas, serta merupakan tipe birokrasi yang rasional. Tidak mungkin kita memahami setiap gejala kehidupan yang ada secara keseluruhan, sebab yang mampu kita lakukan hanyalah memahami sebagian dari gejala tersebut.
Belakangan ini, dalam segala aspek yang berhubungan dengan pemerintahan, reformasi birokrasi menjadi isu yang sangat kuat untuk direalisasikan. Terlebih lagi, birokrasi pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi keterpurukan bangsa Indonesia dalam krisis multidimensi yang berkepanjangan.
Birokrasi yang telah dibangun oleh pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya birokrasi yang kental dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Akan tetapi, pemerintahan pascareformasi pun tidak menjamin keberlangsungan reformasi birokrasi terealisasi dengan baik. Kurangnya komitmen pemerintah pascareformasi terhadap reformasi birokrasi ini cenderung berbanding lurus dengan kurangnya komitmen pemerintah terhadap pemberantasan KKN yang sudah menjadi penyakit akut dalam birokrasi pemerintahan Indonesia selama ini. Sebagian masyarakat memberikan cap negatif terhadap komitmen pemerintah pascareformasi terhadap reformasi birokrasi. Ironisnya, sebagian masyarakat Indonesia saat ini, justru merindukan pemerintahan Orde Baru yang dinggap dapat memberikan kemapanan kepada masyarakat, walaupun hanya kemapanan yang bersifat semu.
Birokrat, sebagai pembentuk kebijakan yang bersifat publik dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dengan demikian, seringkali kebijakan yang dilahirkan oleh para birokrat tidak menyentuh kepentingan masyarakat tidak bersifat populasi. Bukan tidak mungkin, berbagai faktor tersebut, baik yang bersifat internal maupun eksternal, yang menyebabkan negara ini semakin larut dalam keterpurukan. Sebagaimana telah diketahui oleh kalangan yang peduli terhadap pembaruan hukum tanah air.

ASPEK-ASPEK YANG MEMPENGARUHI BIROKRAT DI INDONESIA
DALAM PROSES PEMBENTUKAN KEBIJAKAN
Salah satu tugas birokrat adalah membentuk suatu kebijakan publik yang dapat diterima oleh semua golongan masyarakat. Setiap kebijakan yang dibuat tentu harus memperhatikan apakah kebijakan tersebut nantinya dapat diterapkan dalam masyarakat, sehingga setiap kebijakan yang ada tidak akan sia-sia belaka. Oleh sebab itu, seorang birokrat haruslah orang yang independen dan dapat menampung setiap aspirasi masyarakat. Namun, dalam realitanya ternyata banyak aspek yang dapat mempengaruhi para birokrat dalam membentuk suatu kebijakan, sehingga kebijakan yang dibuat sebenarnya hanyalah kepentingan dari beberapa golongan saja, dengan berkedok untuk kepentingan masyarakat luas. Aspek-aspek yang mempengaruhi pembentukan kebijakan dari para birokrat akan dibahas sebagai berikut.

2.1 Adanya Pengaruh Tekanan dari Luar
Di sini nilai-nilai politis yang berlaku akan sangat mempengaruhi birokrat. Pengaruh tekanan dari luar itu bisa bermacam-macam bentuknya. Salah satunya adalah ketika Indonesia sedang mengalami krisis moneter periode 1998, Indonesia banyak mendapat tekanan dari dunia internasional, khususnya negara- negara kapitalis barat. Pada saat itulah International Monetary Fund (IMF) mulai mempengaruhi perekonomian Indonesia dengan memberikan berbagai cara bagaimana dapat keluar dari krisis. Namun, yang terjadi adalah Indonesia selalu didikte oleh IMF dan setelah sekian lama sampai lima tahun lebih, serta telah beberapa kali berganti presiden, Indonesia belum bisa keluar dari krisis. Salah satu produk hukum yang dibuat oleh pemerintah Indonesia atas saran IMF adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang tersebut dibuat dengan mengadopsi langsung undang-undang di Amerika Serikat yang mengatur tentang hal yang sama. Kemudian, yang terjadi adalah, substansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 banyak yang tidak jelas dan tidak cocok untuk dapat diterapkan di Indonesia. Pengaruh tekanan itu juga bisa datang dari dalam negeri sendiri. Dalam hal ini tergantung dari nilai politis apa yang dianut oleh birokrat yang bersangkutan.

2.2 Adanya Pengaruh Kebijaksanaan Lama
Dalam hal ini, kebijaksanaan lama yang diwariskan kepada para birokrat baru sangat berpengaruh (nilai-nilai organisasi). Suatu sistem atau tatanan yang berlaku dalam organisasi bisa mempengaruhi kinerja para birokrat. Sistem lama yang sudah mengendap akan sangat sulit diubah bila birokrat-birokrat lama dalam organisasi yang bersangkutan juga tidak diganti. Jadi, bila hanya satu atau dua birokrat saja yang diganti, justru birokrat-birokrat baru tersebut yang akan mengikuti arus dari sistem lama karena kinerja-kinerja para birokrat baru juga tak lepas dari pengaruh para birokrat lama yang jumlahnya lebih banyak. Contoh yang dapat diambil di Indonesiaini adalah pada masa reformasi, di mana belum banyak yang berubah dari sistem pada rezim Orde Baru.
Pada masa reformasi, para birokrat yang diganti hanyalah para elit atau pemimpin-pemimpinnya saja, sedangkan bawahan-bawahannya tetap. Hal ini membuat pelayanan-pelayanan yang diberikan, serta ketentuan hukum yang yang dibentuk untuk masyarakat pada masa reformasi ini menjadi sama saja seperti pada masa Orde Baru, walaupun ada perubahan, itu pun hanya sebagian kecil saja. Inilah yang menjadi permasalahan, di mana para birokrat bawahan tersebut masih menjadi bagian dari sistem lama. Oleh karena itu, seorang pemimpin dalam suatu organisasi yang masih terpengaruh oleh sistem lama haruslah bertekad untuk menciptakan suasana kerja yang baru dalam organisasinya, sehingga kebijakan-kebijiakan yang dibuat tidak terpengaruh oleh kebijaksanaan lama.

2.3 Adanya Pengaruh Sifat-sifat Pribadi
Nilai pribadi yang ada dalam diri pembuat kebijakan sangat berpengaruh. Sifat dan watak pribadi dalam tiap diri birokrat dapat mempengaruhi suatu produk hukum yang akan dibuat oleh birokrat yang bersangkutan. Kebijakan tersebut akan baik dan dapat mengakomodasi kepentingan semua lapisan masyarakat, bila sifat dan watak dari para birokrat baik dan mempunyai kompetensi, serta integritas yang tinggi. Sebaliknya, kebijakan tersebut akan berakibat buruk, bila sifat dan watak dari para birokrat hanya mementingkan dirinya sendiri. Saat ini, masih banyak birokrat yang hanya mementingkan dirinya sendiri karena terpengaruh sifat-sifat pribadinya. Demikian juga pada masa Orde Baru. Ketika itu, mantan Presiden Soeharto pernah mengeluarkan suatu Instruksi Presiden (Inpres) yang berkaitan dengan penghapusan bea impor atas mobil Timor di Indonesia. Inpres tersebut menjadi kontroversial pada waktu itu karena pemilik perusahaan mobil Timor adalah putranya sendiri. Dalam hal ini, sebenarnya terjadi benturan kepentingan (conflict of interest) pada mantan Presiden Soeharto, di mana ia mengeluarkan kebijakan yang seharusnya bermanfaat bagi publik, tetapi yang justru terjadi adalah Inpres tersebut hanya mementingkan diri pribadi sang mantan presiden.

2.4 Adanya Pengaruh dari Kelompok Luar
Di Indonesia, begitu banyak kelompok masyarakat yang dibentuk sendiri oleh mereka. Kelompok itu berbagai macam namanya, ada “aliansi”, “forum”, “front”, “himpunan”, “lembaga” dan masih banyak lagi yang pada intinya merupakan suatu kumpulan orang yang mempunyai tujuan yang sama, sehingga bisa disebut juga sebagai suatu organisasi. Organisasi-organisasi masyarakat tersebut akan selalu merespon tiap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak tepat dan salah arah, sehingga organisasi masyarakat itu dikatakan juga sebagai alat kontrol bagi pemerintah.
Beberapa bulan yang lalu ketika pemerintah berniat merevisi Undang- UndangNomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tiap organisasi buruh langsung merespon keinginan pemerintah tersebut karena para buruh menganggap revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 hanya untuk melindungi para pengusaha dan investor asing. Puncaknya pada 1 Mei 2006—Hari Buruh Sedunia, tiap organisasi buruh seluruh Indonesia serentak mengadakan aksi unjuk rasa untuk menentang revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut, dan kemudian pada 3 Mei 2006, para buruh se-Indonesia kembali melakukan aksi unjuk rasa, bahkan terjadi kerusuhan pada unjuk rasa yang kedua ini. Aksi unjuk rasa para buruh tersebut dapat mempengaruhi pemerintah untuk tidak merevisi Undang- Undang Ketenagakerjaan tersebut, walaupun nantinya akan tetap direvisi, setidaknya pemerintah memilih untuk menunda pembahasan revisi Undang- Undang Ketenagakerjaan. Hal ini dilakukan pemerintah untuk meredakan amarah para buruh yang merasa termarjinalkan posisinya dan juga agar kegiatan perekonomian tetap dapat berjalan seperti biasanya. Dengan demikian, menjadi terbukti bahwa kelompok-kelompok masyarakat dapat mempengaruhi pemerintah dalam hal membuat kebijakan.

2.5 Adanya Pengaruh Keadaan Masa Lalu
Pengaruh keadaan masa lalu dapat mempengaruhi kebijakan yang dibuat oleh para birokrat. Para birokrat dapat belajar dari pengalaman mengenai kebijakan yang telah diterapkan dalam masyarakat dengan melihat hasilnya pada saat ini, yaitu baik atau buruk. Pada masa Orde Baru, banyak kebijakan yang hanya mementingkan kelompok tertentu saja, sehingga rakyat selalu menjadi korban dari sebuah kebijakan. Makin lama, rakyat semakin pintar dan tidak ingin dibodohi terus-menerus. Alhasil pada 1998, kekesalan rakyat yang selama ini selalu dipendam, akhirnya memuncak. Rakyat dan mahasiswa tumpah ruah turun ke jalan dengan satu tujuan, yaitu melengserkan Soeharto dari tahta kepresidenan selama 32 tahun. Dengan mempelajari hal tersebut, maka pemerintah saat ini harus lebih hatihati untuk membuat kebijakan, karena bila tidak, maka bukan tidak mungkin hal yang telah menimpa mantan Presiden Soeharto, dapat juga terjadi pada masa pemerintahan saat ini. Dengan demikian, faktor “keadaan masa lalu” dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk membuat suatu kebijakan publik dan pemerintah juga harus memikirkan nasib rakyat kecil yang dari dulu jarang sekali merasakan efek dari sebuah kebijakan yang dibuat oleh para birokrat.
PERAN PEMERINTAH DALAM PEMBENTUKAN KEBIJAKAN
HUKUM
DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

3.1 Peran Pemerintah dalam Pembentukan Kebijakan Hukum
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kewenangan dalam hal penegakan hukum berada di tangan lembaga yudikatif. Namun demikian, peran pemerintah sebagai badan eksekutif dirasakan amat penting dalam rangka upaya menegakkan hukum di Tanah Air. Setidaknya ada tiga alasan mengapa kebijakan pemerintah dalam hal penegakan hukum diperlukan.
Pertama, pemerintah bertanggung jawab penuh untuk mengelola wilayah dan rakyatnya untuk mencapai tujuan dalam bernegara. Bagi Indonesia sendiri, pernyataan tujuan bernegara sudah dinyatakan dengan tegas oleh para pendiri negara dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD1945), di antaranya: melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Bukan hanya pernyataan tujuan bernegara Indonesia, namun secara mendasarpun gagasan awal lahirnya konsep negara, pemerintah wajib menjamin hak asasi warga negaranya. Memang, dalam teori pemisahan kekuasaan cabang kekuasaan negara mengenai penegakan hukum dipisahkan dalam lembaga yudikatif. Namun, lembaga eksekutif tetap mempunyai tanggung jawab karena adanya irisan kewenangan dengan yudikatif serta legislatif dalam konteks checks and balances; dan kebutuhan pelaksanaan aturan hukum dalam pelaksanaan wewenang pemerintahan sehari-hari.
Kedua, tidak hanya tanggung jawab, pemerintah pun mempunyai kepentingan langsung untuk menciptakan situasi kondusif dalam menjalankan pemerintahannya. Birokrasi dan pelayanan masyarakat yang berjalan dengan baik, serta keamanan masyarakat. Dengan adanya penegakan hukum yang baik, akan muncul pula stabilitas yang akan berdampak pada sektor politik dan ekonomi. Menjadi sebuah penyederhanaan yang berlebihan bila dikatakan penegakan hukum hanyalah taggung jawab dan kepentingan lembaga yudikatif.
Ketiga, tidak dapat dilupakan pula adanya dua institusi penegakan hukum lainnya yang berada di bawah lembaga eksekutif, yaitu kepolisian dan kejaksaan.Penegakan hukum bukanlah wewenang Mahkamah Agung (MA) semata. Dalam konteks keamanan masyarakat dan ketertiban umum, kejaksaan dan kepolisian justru menjadi ujung tombak penegakan hukum yang penting karena mereka langsung berhubungan dengan masyarakat. Sementara itu, dalam konteks legal formal, hingga saat ini pemerintah masih mempunyai suara yang signifikan dalam penegakan hukum. Sebab, sampai dengan September 2004, urusan administratif peradilan masih dipegang oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, pemerintah masih berperan penting dalam mutasi dan promosi hakim, serta administrasi peradilan.
Realisasi penegakan hukum di Indonesia sendiri, belakangan ini, seringkali tidak dipandang sebagai sesuatu yang penting dalam proses demokratisasi. Hukum lebih sering dilihat sebagai penopang perbaikan di bidang lainnya seperti politik dan pemulihan ekonomi. Akibatnya, pembaruan hukum justru dianggap hanya sebatas pembentukan peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan untuk melaksanakan rencana-rencana perbaikan sektor ekonomi dan politik, alih-alih pembenahan perangkat penegakan hukum itu sendiri. Indikasi gejala ini terlihat dari lahirnya berbagai undang-undang secara kilat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang didorong oleh rencana pemulihan ekonomi yang dipreskripsikan oleh berbagai lembaga internasional dan nasional, sementara tidak banyak yang dilakukan untuk memperbaiki kinerja kepolisian dan kejaksaan oleh pemerintah. Padahal, evolusi masyarakat hingga menjadi organisasi negara melahirkan konsep tentang adanya hukum untuk mengatur institusi masyarakat. Oleh karena itu, terdapat asumsi dasar yang menyatakan bahwa adanya kepastian dalam penegakan hukum akan mengarah kepada stabilitas masyarakat. Dan pada kenyataannya, kepastian hukum selalu menjadi hal yang didambakan, walaupun terdengar utopis. Sebab, melalui kepastian inilah akan tercipta rasa aman bagi rakyat. Adanya kepastian bahwa kehidupan dijaga oleh negara, kepentingannya
dihormati, dan kepemilikan yang diraihnya dilindungi.



3.2 Pembentukan Kebijakan di Bidang Penegakan Hukum dan Faktor yang Mempengaruhinya
Bagi Indonesia sendiri, penegakan hukum bukan hanya untuk mendorong perbaikan politik dan pemulihan ekonomi. Harus disadari bahwa penegakan hukum justru merupakan ujung tombak proses demokratisasi. Karena, melalui penegakan hukum ini, Indonesia dapat secara konsisten memberantas korupsi yang sudah mengakar dengan kuat di berbagai sektor serta menjalankan aturan- aturan dalam bidang politik dan ekonomi secara konsisten. Penegakan hukum yang konsisten dan tegas juga dapat mendorong percepatan pemulihan ekonomi dan tatanan politik.
Dalam bidang pembentukan kebijakan, indikasi yang menunjukkan gejala pembuatan aturan secara instan tersebut dilihat dalam soal perencanaan pembentukan kebijakan hukum pemerintah yang cenderung stagnan. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, dibentuk Komisi Hukum Nasional yang bertugas memberikan nasihat kepada presiden dalam bidang hukum. Namun, dalam pemerintahan yang berikutnya, Komisi Hukum Nasional dapat dikatakan tidak memiliki banyak andil dalam pembentukan kebijakan pemerintah di bidang hukum. Pada saat ini, arah kebijakan hukum dituangkan bersama dengan arah kebijakan pembangunan sektor-sektor lainnya dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dibuat dalam bentuk undang-undang oleh DPR dan pemerintah (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000). Di dalam Propenas, yang menggantikan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) itu, disusun arah kebijakan pembangunan di bidang hukum. Propenas tidak hanya memuat arah perbaikan institusi, tetapi juga serangkaian pembentukan undang-undang, yang kemudian diturunkan dalam bentuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas memuat semua legislasi yang akan dihasilkan dalam jangka waktu lima tahun. Pembagian yang ada dalam Prolegnas dilakukan secara sektoral, yaitu bidang hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, agama, pendidikan, pembangunan
daerah, sumber daya alam dan pertahanan keamanan.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dalam studinya tentang Prolegnas pada masa sidang DPR 2003-2004 menyimpulkan setidaknya dua hal sebagai berikut.Pertama, proses penyusunan legislasi di Indonesia bukanlah dalam kerangka “mengarahkan” kebijakan di bidang hukum tetapi justru “diarahkan” oleh berbagai faktor eksternal.Kedua, sampai titik tertentu proses penyusunan prioritas legislasi menjadi sarana untuk “memagari” perubahan politik dan hukum yang dikehendaki. Proses ini menjadi alat pembenaran (justifikasi) semata dalam meredam agenda perubahan struktural sambil mempertahankan status quo.
Salah satu faktor eksternal yang turut mengarahkan pembentukan kebijakan hukum di negeri ini di antaranya dalam bentuk ideologi asing. Paham neo-liberal yang berkembang pesat sebagai bagian dari kedigdayaan negara- negara Barat telah memberikan pengaruh besar terhadap berbagai kebijakan dalam negeri di negaranegara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Neo-liberalisme masuk ke dalam hukum dan kebijakan melalui proses pembentukan maupun penegakannya. Proses pembentukan dan penegakan hukum dan kebijakan dapat dilihat sebagai arena pertarungan antara kelompok yang memiliki akses dan yang tidak. Masuknya neo-liberalisme ke dalam hukum menjadi konsekuensi dari merasuknya ideologi neo-liberal dalam berbagai sendi kehidupan—pandangan yang melihat bahwa negara harus menjauh dari arus ekonomi dan semua individu harus berkompetisi dalam mekanisme pasar.
bY: Aam's Boejang Berlian

FENOMENA KEJELASAN UNDANG-UNDANG DI INDONESIA




Indonesia adalah negara berdaulat yang berasaskan pancasila dan undang-undang dasar, memberikan jaminan kepada seluruh rakyat Indonesia dan termasuk memberikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang sesuai dengan pancasila, yaitu sila kelima. Dengan demikian negara akan mengadili terhadap semua kesalahan yang bertentangan dengan undang-undang dasar yang sebenarnya sangat baik apabila benar-benar dijalankan.
Namun hal ini sangat bertentangan terhadap permasalahan yang terjadi saat ini, dimana seorang penguasa mampu untuk membeli undang-undang sehingga dapat terhindar dari jeratan hukum yang berlaku. Dengan berwajah manis di depan publik akan tetapi berbisa apabila sudah tertutup wajahnya, dan melakukan tindakan yang hanya mementingkan kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan-golongan tertentu. Hal ini adalah fenomena yang sering terjadi di negara kita dan patut untuk kita hindari sebagai generasi penerus dan pemimpin bangsa ini.
Salah satu dari kejadian tersebut dapat kita lihat bagaimana maraknya korupsi yang terjadi saat ini,dimana semua penguasa berlomba untuk mencuri harta rakyat hanya untuk kepentingannya. Pada saat ini, korpsi bukan lagi sat pelanggaran hukum, melainkan sudah menjadi kebiaasaaan tanpa memperdulikan hukum-hukum yang ada. Melakukan semua tindakan yang tidak terpuji adalah visi dan misi yang terpendam dan akan direalisasikan ketika telah sampai ketujuan yang diinginkan. Semua ungkapan manis hanya digunakan sebagai cadar bagi wajah aslinya yang sebenarnya hanya penuh dengan kenistaan. Tentu saja hal ini selain bertentangan dengan Undang-undang dan pancasila dan juga sangat bertentangan dengan semua agama pada umumnya dan agama Islam pada khusunya. Karena seharusnya seorang birokrat ataupun wakil rakyat harus bisa melakukan tindakan yang mementingkan kepentingan rakyat dan mengesampingkan kepentingan pribadi ataupun golongan.
Meningkatnya tindakan korupsi akan semakin menambah kerugian negara yang sebenarnya itu semua tidak terjadi jika mereka adalah para wakil rakyat yang benar-benar kompeten dan jujur atas amanah yang sedang diembannya. Indonesia adalah negara yang termasuk dalam tiga besar negara terkorup di dunia, suatu prestasi yang buruk tentunya. Meskipun telah banyak berdiri lembaga-lembaga yang mengurus tentang hal tersebut, seperti (Tim Tastipikor, KPK, Kepolisian, Kejaksaan), namun sampai saat ini permasalahan korupsi belum bisa di atasi dengan baik, malah bisa kita lihat praktek tersebut semakin hari semakin marak saja . Hal ini juga akan memberikan pandangan yang buruk kepada para birokrat dan wakil rakyat untuk bangsa dan negara, dan juga tidak secara langsung memberikan pendidikan tentang hal tersebut bagi generasi penerus yang harus kita hindari.
Bebrapa tokoh korupsi saat ini yang sedang hangat dibicarakan adalah Gayus Tambunan. Dia adalah pegawai pajak, meskipun dia hanya pegawai golonan tiga ia mampu untuk melakukan tindakan korupsi dengan jumlah yang sanagat besar, yaitu kurang lebih 25 milyar rupiah. Coba kita bayangkan saja, seandainya uang tersebut dihibahkan untuk rakyat maka akan dapat membantu perkembangan ekonomi rakyat Indonesia, karena masih banyak diantara kita yang sangat membutuhkan bantuan tersebut.
Meskipun Gayus pada saat ini sudah dikurung di dalam tahanan penjara, akan tetapi dia masih bisa dengan bebasnya melakukan hal-hal yang disukainya, tentunya dengan memanfaatkan harta yang dimilikinya untuk menutup mulut para penjaga lapas. Seperti yang terjadi baru-baru ini dia mampu untuk pergi liburan ke Bali untuk menonton pertandingan Tenis Internasional. Selain dari kemampuannya untuk keluar masuk lapas, permasalahan gayus juga sampai saat ini belum bisa diselesaikan oleh kejaksaaan.
Dalam permasalahan lain yang baru-baru ini sedang hangat dibicarakan adalah adaanya mafia narapidana atau yang lebih dikenal dengan pertukaran napi di lapas Bojonegoro. Pada dasarnya seorang yang jelas-jelas melanggar hukum, maka ia akan mendapatkan hukman yang sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya. Tapi pada kenyataannya adalah malah si pelaku kejahatan bisa dengan bebas menghirup udara segar, sedangkan yang tidak bersalah malah dijadikan korban dengan iming-iming sejumlah uang.
Dari dua kenyataan yang kita temukan ini, dapat kita lihat bahwa pelaksanaan undang-undang dan pengawasannya sangat kurang diterapkan di negara kita. Dengan demikian sulit untuk menyelesaikan permasalahan yang seharusnya apabila mengacu kepada undang-undang segala persoalan dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat. Hal ini menggambarkan bahwa begitu lemahnya mental para birokrat dan oknum-oknum yang diberikan amanah sehingga bisa untuk dipermainkan hanya karena melihat uang haram tersebut. Mereka tidak pernah memikirkan bahwa uang yang dihasilkan dari jalan haram tidak akan menghasilkan keuntungan apapun, ini juga menggambarkan bahwa para oknum-oknum tersebut belm sepenuhnya dan menjalani nilai-nilai yang terkandung di dalalm Pancasila.
Kita sebagai masyarakat hanya bisa melihat dan mendengarkan dari media tentang bagaimana hasil dari penyelesaian permasalahan-permaslahan tersebut. Apakah bisa terselesaikan atau tidak itu semua tergantung kepada mereka, selama hal ini belum dapat selesai sesuai dengan hasil sebenarnya, maka selama itu akan memberikan motivasi kepada calon-calon koruptor berikutnya untuk bertindak melakukan korupsi yang lebih besar.
Negara Indonesia sudah merdeka dari penjajah asing, akan tetapi masih terjajah oleh para penguasa negara ini sendiri. Mengapa dapat dikatakan demikian, karena dapat kita lihat bagaimana permasalahan pelaksanaan undang-undang yang tidak jelas dan hanya mementingkan kepentingan mereka yang berkuasa dan mampu untuk mengambil kesempatan melakukan tindakan-tindakan negatif yang merugikan rakyat dan bangsa ini.
Untuk menghilangkan hal tersebut maka perlu adanya kejelasan dan implementasi dengan pengawasan yang jelas untuk mereka yang menjalankan amanah negara dan rakyat. Karena apabila benar-benar melakukan tindakan yang berasaskan undang-undang dan pancasila maka hal-hal negatif dan permsalahan negara dapat diatasi dengan baik.
Menerapkan undang-undang yang baik dan tepat juga memberikan sanksi yang jelas dan tegas bagi mereka yang melanggarnya. Meski perlu tindakan yang berat akan tetapi itu semua bisa terlaksana asalkan kita benar-benar melakukan tanggung jawab yang sesuai dengan tuntutan yang berlaku yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Meskipun sepertinya p sudah menjadi darah daging di negara kita dengan berbagai bentuk kesalahan dan keburukan yang telah terjadi, namun masih ada waktu untuk merubah semunya menjadi yang lebih baik yang berasaskan Pancasila dan undang-undang yang berlaku di negara kita.
Indonesia akan mampu untuk terhindar dari kebobrokan selama kita mampu dan berniat untuk mengatasinya. Karena kita yakin dan percaya di Indonesia masih banyak orang-orang yang mampu untuk bertindak sesuai dengan kepentingan rakyat dan tidak berpihak hanya kepada sekelompok golongan yang tidak memperdulikan kepentingan sebuah negara. Kita semua berharap segala permaslahan yang terjadi di Indonesia dapat segera teratasi dan kepada lembaga-lembaga yang telah diberi amanah sesuai bidangnya masing-masing semoga dapat menjalankan amanahnya dengan baik sehingga tidak ada lagi permasalahan-permasalahan yang membuat Indonesia semakin terpuruk dan tidak mustahil satu saat Indonesia akan menjadi sebuah negara yang maju, ini adalah sebuh proses meski membutuhkan waktu yang panjang, namun asalkan kita semua bersatu tanpa ada kepentingan pribadi di dalamnya bukan tidak mungkin semua cita-cita itu akan menjadi kenyataan.
Selanjutnya adalah kasus yang terjadi baru-baru ini adalah pertukaran tahanan yang terjadi di negara kita, kejadian ini merupakan hal yang sangat membuat kita sebagai masyrakat bingung dengan keberadaan undang-undang yang seharusnya mampu untuk berlaku adil tapi mereka sama sekali tidak memperhatikan undang-undang tersebtu hanya karena uang yang jumlahnya tidak seberapa.
Sebenarnya untuk mengatasi permasalahan ini, Indonesia bisa untuk mengikuti aturan yang diterapkan oleh beberapa negara maju di dunia. Contohnya saja negara China yang menerapkan hukuman mati bagi setiap pelaku tindakan korupsi dan hal ini sangat membantu negara tersebut untuk terhindar dari negara yang koorup. Mengapa para wakil kita tidak menerapkan hal tersebut ? hal ini yang harus kita pertanyakan. Apakah mereka takut kebijakan yang mereka lakukan akan berakibat kepada mereka sendiri, atau mereka merasa bahwa mereka semua koruptor yang takut nantinya undang-undang tersebut akan berakibat kepada mereka ?.
Banyak hal yang saat ini terjadi di negara kita, dan banyak hal pula yang menjadi pertanyaan bagi kita terhadap undang-undang di negara kita yang katanya akan melindungi bagi yang tidak bersalah dan menghukum bagi yag melakukan kesalahan. Akan tetapi yang terjadi saat ini, para wakil rakyat dan birokrat yang seharusnya mampu untuk mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat, tapi sema itu sangat bertentangan. Percuma melakukan amandemen terhadap undang-undang apabila tidak mampu untuk dilakukan dengan sepantasnya.
Dengan adanya kementrian remormasi birokrasi kita patut untuk berharap akan terjadi perubahan terhadap bentuk birokrasi yang dapat mencerminkan kepentingan rakyat. Pendapat saya sebagai seorang rakyat indonesia yang berharap akan terjadi perubahan kearah yang baik dengan birokrasi dan undang-undang, konsep peraturan dan kebijakan yang ditetapkan sudah baik, akan tetapi bentuk pelaksanaanya yang masih cendrung negatif dan bertentangan dengan kebujakan yang ditetapkan. Selain dari perbaikan kebijakan, negara kita perlu melakukan perbaikan terhadap kinerja para birokrat yang cendrung masih bersifat feodalisme dan KKN.
Salah satu caranya adalah dengan meletakkan seseorang itu sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Sehingga dengan demikian pergerakan reformasi birokrasi dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan.
By: Aam Boejang Berlian

Kamis, Januari 06, 2011

KABUPATEN KARIMUN




Kabupaten KARIMUN

KABUPATEN KARIMUN TERDIRI ATAS 198 PULAU. PULAU YANG TELAH BERPENGHUNI ADALAH 67 PULAU, DAN YANG BELUM 131 PULAU.

KARIMUN BERADA PADA 00-50'-25'' LINTANG UTARA, 01-20'-20'' LINTANG SELATAN, 03-31'-20'' BUJUR BARAT DAN 102-51'-15'' BUJUR TIMUR.

BATAS UTARA: PHILIP CHANNEL (SINGAPORE STRAIT), SEMENANJUNG MALAYSIA DAN SELAT MALAKA.
BATAS SELATAN: KECAMATAN KATEMAN - KABUPATEN INDRAGIRI HILIR
BATAS TIMUR: PULAU BATAM
BATAS BARAT: KECAMATAN RANGSANG DAN KECAMATAN TEBING TINGGI - KABUPATEN BENGKALIS REGENCY; KECAMATAN KUALA KAMPAR KABUPATEN PELALAWAN

TEMPERATUR KABUPATEN KARIMUN BERKISAR PADA 30o CELSIUS KELEMBABAN 48% RATA-RATA CURAH HUJAN 2.200 MILLIMETER PER TAHUN.

Website:
http://www.kab-karimun.go.id
Sejarah

KABUPATEN KARIMUN DIMULAI DARI SEBUAH KOTA KECIL DENGAN NAMA TANJUNG BALAI KARIMUN DAN BERSTATUS KECAMATAN DENGAN LUAS DAERAH 275 KM2. TANJUNG BALAI KARIMUN,DARI SISI SEJARAH TIDAK DAPATDIPISAHKAN DARI KABUPATEN UTAMANYA, KEPULAUAN KARIMUN. BERDASARKAN KEPUTUSAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA,PROPINSI SUMATRA TENGAH PADA18 MEI 1956 BERGABUNG DENGAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEPULAUAN RIAU DIBERI STATUS OTONOMI DAERAH TINGKAT II YANG MENGENDALIKAN ATAS 4 (EMPAT) KECAMATAN, YAITU:

· KEC. TANJUNG PINANG TERIDIRI ATAS KEL BINTAN SELATAN (MENJADI BINTANTIMUR, GALANG, TANJUNG PINANG BARAT DAN TANJUNG PINANG TIMUR SEKARANG).

· KEC. KARIMUN TERDIRI ATAS KEL. KARIMUN, KUNDUR DAN MORO.

· KEC. LINGGA TERIDIRI ATAS KEL. LINGGA, SINGKEP DAN SENAYANG.

· KEC. PULAU TUJUH TERDIRI ATAS JEMAJA, SIANTAN, MIDAI, SERASAN, TAMBELAN, BUNGURAN BARAT DAN BUNGURAN TIMUR.

KEC. KARIMUN YANG TERDIRI ATAS KELURAHAN KARIMUN, KUNDUR, DAN MORO DAN LAINNYA, AKHIRNYA DIHAPUSKAN BERDASRAKAN KEPUTUSAN GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I RIAU TERTANGGAL 9 AGUSTUS 1964 NO UP/247/5/1965. BERDASARKAN PERMINTAAN PADA 1 JANUARI 1966 SELURUH ADMINISTRASI TERITORIAL KECAMATAN DALAM KEABUPATEN KEPULAUAN RIAU DIHAPUSKAN.

SEBAGAIMANA TERTULIS DALAM SEJARAH KEJAYAAN KERAJAAN RIAU LINGGA YANG TELAH MENGAMBIL ALIH KERAJAAN TERKENAL JOHO, SEBAGIAN BESAR BAGIAN KEPULAU RIAU ADALAH OTORITAS KERAJAAN RIAU LINGGA. DISEBUTKAN BAHWA KEJAYAAN RIAU DAPAT DIBUKTIKAN DENGAN ALIRAN KEDATANGAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DIMANA BANYAK PEDANGANG ASING TINGGAL DI BANDAR RIAU. SELANJUTNYA, DIJELASKAN PULAU KESEJAHTERAAN YANG TELAH DICAPAI DAERAH RIAU, KHUSUSNYA SEWAKTU SULTAN MUDA RAJA ALI MEMEGANG KEKUASAAN, RIAU MEMILIKI PENGALAMAN DALAM MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN. SEJARAH TERSEBUT TELAH MEMBUKTIKAN IMPLIKASINYA PADA KONDISI PEREKONOMIAN DAERAH SAAT INI.

DENGAN SEMANGAT OTONOMI DAERAH MAKA PADA TANGGAL 12 OKTOBER 1999, UNDANG-UNDANG NO 1999 MENYEBUTKAN BAHWA KECAMATAN KARIMUN BERSAMA DENGAN KECAMATAN KUNDUR DAN MORO DIGABUNGKAN MENJADI SATU KABUPATEN DENGAN NAMA KABUPATEN KARIMUN, YANG POSISINYA SAMA SEDERAJAT DENGAN KABUPATEN LAINNYA DI INDONESIA.

Arti Logo

Hitam Adalah Ketenangan.
Kuning Adalah Kebesaran, Keagungan.
Putih Adalah Kesucian, Kebersihan
Hijau Adalah Ketaqwaan, Kesuburan, Kemakmuran.
Biru Adalah Kelembutan, Kedamaian.
Coklat Adalah Kekekalan, Keabadian.

1. Berbentuk Perisai adalah Masyarakat Kabupaten Karimun Siap Mempertahankan Wilayahnya.
Bersudut Lima Adalah Berlandaskan Pancasila.

2. Bintang Adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, Toleransi Beragama.

3. Padi Kapas, Padi Berjumlah 19 Dan Kapas Berjumlah 9 Merupakan Tanggal Berdirinya Kabupaten Karimun, 1900 Yang Melambangkan Kemakmuran, Kesejahteraan Masya rakat Karimun Tidak Kekurangan Sandang Pangannya.

4. Payung Dengan Lidih Payung Berjumlah Sepuluh Merupakan Kabupaten Karimun Pada Bulan 10 Yang Melambangkan Pemerintahan Yang Adil Dan Mengayomi Masyarakat.

5. Rantai Dengan Mata Rantai Berjumlah 12 Buah Merupakan Kabupaten Karimun Berdiri Pada Tanggal 12 adalah Persatuan.

6. Roda Gigi Berjumlah 9 Merupakan Kabupaten Karimun Berdiri Tahun 1999, Juga Mengartikan Pertambangan Dan Perindustrian.

7. Sampan Kolek Merupakan Daerah Bercirikan Bahari.

8. Terdiri Dari Tiga Pulau Yang Melambangkan Kabupaten Karimun Terdiri Dari Kepulauan. Diantaranya Tiga Buah Pulau Yang Besar.

9. Terdapat Tiga Gelombang Laut Yang Mengartikan Gelombang Laut Sebagai Sarana Transportasi, Gelombang Laut Sumberdaya Perikanan, Gelombang Laut Sumberdaya Perikanan Yang Melambangkan Bahwa Kabupaten Karimun Sebagai Daerah Maritim Pada Umumnya Lautan.
By: Aam' Boejang Berlian

Rabu, Januari 05, 2011

kepemimpinan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama ini, dalam mengatasi sengketa tanah, pemerintah dan pemilik modal cenderung menggunakan pendekatan keamanan dan kekerasan melalui aparat TNI, polisi, bahkan preman. Akibatnya, petani dan masyarakat adat selaku pemilik tanah menjadi tidak berdaya.
Harus diakui, saat ini sektor pertanahan menghadapi beragam masalah yang pelik. Apalagi, jika dikaitkan dengan pengembangan sektor pertanian, perkebunan, dan sebagainya. Masalah itu pertama keterbatasan kemampuan petani dalam menguasai aset tanah. Kondisi ini sebagai akibat dari kebijakan selama rezim Orde Baru, di mana sejumlah warga telah kehilangan tanah/wilayah dan sumber mata pencaharian. Hal itu disebabkan tanah/wilayah tersebut dialihkan ke pengusaha hutan melalui sistem hak guna usaha (HGU) dengan luas yang tidak dibatasi.
Praktik tersebut semakin luar biasa setelah periode 1988. Saat itu terjadi peningkatan pemberian izin lokasi, baik untuk usaha perkebunan kelapa sawit, karet, kakao, dan sebagainya kepada pengusaha. Luas tanah yang dibebaskan pun tidak dibatasi dan seringkali melebihi kapasitas realistis pengusaha sehingga timbul penguasaan lahan yang berlebihan.
Dampak yang timbul tidak saja berbentuk ketimpangan tajam dalam masalah penguasaan tanah. Namun, lebih parah lagi adalah penelantaran tanah dalam jumlah besar sehingga menjadi tidak produktif, monopoli, dan mengurangi peluang usaha ekonomi kecil.
Kini, kenyataan di lapangan memperlihatkan, segelintir orang atau kelompok orang menguasai tanah dalam skala luas. Akan tetapi sebagian besar masyarakat bersusah payah untuk mampu menguasai tanah.
Kondisi ketimpangan penguasaan tanah ini memiliki dampak yang besar, baik secara ekonomis maupun politis. Hal tersebut semakin menyedihkan karena tanah yang dikuasai dalam skala yang luas tidak diimbangi dengan upaya pemanfaatan secara optimal.
Masalah ini memberi indikasi bahwa ketersediaan tanah tidak hanya ditentukan faktor fisik, tapi juga kelembagaan atau kebijakan pemerintah. "Hambatan institusional ini yang justru menyebabkan banyak tanah sebagai sumber daya untuk masyarakat luas menjadi mubazir," ujar Deputi Tata Laksana Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Heru Wijono.
Kedua adalah penyusutan lahan pertanian. Kenyataan ini akibat dari alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri, perumahan, dan kegiatan komersial lainnya. Praktik itu paling banyak terjadi di Pulau Jawa. Padahal, wilayah ini masih menjadi andalan produksi beras di Indonesia.
Penyempitan lahan pertanian itu secara langsung meningkatkan jumlah petani gurem dengan luas pertanian sama atau lebih kecil dari 0,25 hektar. Untuk itu langkah pencegahan dan pengendalian alih fungsi lahan pertanian, terutama sawah, sudah sangat mendesak. Oleh karena itu penyusutan itu jelas merupakan suatu kendala serius bagi pengembangan pertanian di Indonesia.

B. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini yang berjudul Reformasi Kebijakan Agraria pemahaman kepada penulis dan pembaca tentang hal tersebut. Serta bagaimana cara dalam menghadapi hal tersebut di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Teori Reformasi Agraria
“hukum bukan semata-mata hanya rule and logic, akan tetapi social structure and behavior”, artinya, hukum tidak bisa hanya dipahami secara sempit, dalam perspektif aturan-aturan dan logika, akan tetapi juga melibatkan struktur sosial dan prilaku” (Donald Black).
Berangkat dari dasar pemikiran Donald Black, yang mengetengahkan bahwa hukum bukanlah suatu institusi yang statis, ia akan selalu mengalami perkembangan. Kita lihat bahwa hukum itu berubah dari waktu ke waktu. Konsep hukum, seperti “rule of law” sekarang ini juga tidak muncul dengan tiba-tiba begitu saja, melainkan merupakan hasil dari suatu perkembangan tersendiri. Apabila disini dikatakan hukum bukan hanya semata-mata sekumpulan aturan-aturan dan logika, akan tetapi juga melibatkan struktur sosial dan prilaku, maka yang dimaksud dalam konteks ini ialah, bahwa ada hubungan timbal balik yang erat antara hukum dan masyarakat.
Pada ranah yang lebih konkrit lagi, bahwa pembicaraan mengenai hukum dengan struktur masyarakat pada suatu waktu tertentu bermanfaat besar untuk menjelaskan dinamika yang terjadi pada pelapisan sosial masyarakat. Seperti halnya topik yang dihadapkan penulis pada kesempatan ini, yaitu sampai sejauhmana kebijakan pertanahan di Indonesia secara sosiologis dapat mendatangkan kemanfaatan sosial bagi masyarakat.
Tanah sebagai hak dasar setiap orang, keberadannya dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Penegasan lebih lanjut tentang hal itu diwujudkan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Sesuai dengan sifatnya yang multidimensi dan sarat dengan persoalan keadilan, permasalahan tentang dan sekitar tanah seakan tidak pernah surut. Seiring dengan hal itu, gagasan atau pemikiran tentang pertanahan juga terus berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat sebagai dampak dari perkembangan di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya.
Eksistensi tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti dan sekaligus memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat untuk hidup dan kehidupan, sedangkan capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi.
Sebagai karunia Tuhan sekaligus sumber daya alam yang strategis bagi bangsa, negara, dan rakyat, tanah dapat dijadikan sarana untuk mencapai kesejahteraan hidup bangsa Indonesia sehingga perlu campur tangan negara turut mengaturnya. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusional sebagaimana tercantum pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi:
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Tanah sebagai bagian permukaan bumi, mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik sebagai tempat atau ruang untuk kehidupan dengan segala kegiatannya, sebagai sumber kehidupan, bahkan sebagai suatu bangsa, tanah merupakan unsur wilayah dalam kedaulatan negara. Oleh karena itu tanah bagi bangsa Indonesia mempunyai hubungan abadi dan bersifat magis religius, yang harus dijaga, dikelola dan dimanfaatkan dengan baik.
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, tanah telah menjadi salah satu bagian dari pembangunan hukum yang menarik. Hal ini terutama karena sumberdaya tanah langsung menyentuh kebutuhan hidup dan kehidupan manusia dalam segala lapisan masyarakat, baik sebagai individu, anggota masyarakat dan sebagai suatu bangsa.
Dalam optik sosologi hukum, tanah merupakan sebagai bagian dari objek sosial yang mendasar bagi terbentuknya kebijakan pertanahan. Seperti apa yang dikatakan Emile Durkheim, sebagai seseorang sosiolog dengan lebih sederhana ia melakukan pencarian “apa yang mengikat masyarakat itu?”. Dari sinilah berkembang perhatiannya terhadap seluk beluk dan hakikat suatu tatanan (order) sosial. Dengan melihat kenyataan yang diamati dari dinamika struktur sosial masyarakat, maka Durkheim sampai kepada hukum sebagai suatu kenyataan dalam terbangunnya suatu tatanan masyarakat yang dapat meletakkan solidaritas sosial secara fundamental. Manifestasi nyata dari solidaritas tercermin ke dalam hukum, yaitu sebagai lambang yang dapat diamati dan diukur bagi solidaritas sosial.
UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang diterbitkan dalam rangka mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, merupakan kenyataan hukum dalam menjelaskan tujuan dari tanah sebagai social asset dan capital asset. Sebagai undang-undang nasional pertama yang dihasilkan 15 (lima belas) tahun setelah kemerdekaan RI, ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal UUPA merupakan perwujudan dari sila-sila Pancasila.
Dalam perjalanan waktu terjadi pergeseran kebijakan pertanahan dari yang semula berciri populis, kemudian sekarang berkembang ke arah pada kebijakan yang cenderung pro-kapital yang terjadi karena pilihan orientasi kebijakan ekonomi; yang pada suatu saat lebih cenderung menekankan pada pemerataan dan kemudian bergeser ke arah pertumbuhan ekonomi, terutama sejak tahun 1970-an.
Pada awal berlakunya UUPA sudah mulai terasa adanya gejala ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah. Perbandingan antara ketersediaan tanah sebagai sumber daya alam yang langka di satu sisi, dan pertambahan jumlah penduduk dengan berbagai pemenuhan kebutuhannya akan tanah di sisi lain, tidak mudah dicari titik temunya. Dengan perkataan lain, akses untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia itu belum dapat dinikmati oleh setiap orang disebabkan antara lain karena perbedaan dalam akses modal dan akses politik.
Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana sebenarnya makna “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” yang menjadi landasan UUPA itu dipahami dan diterjemahkan secara benar dalam berbagai kebijakan yang mendukung atau relevan dengan bidang pertanahan. Tampaknya pilihan tepat adalah melakukan refleksi terhadap hal-hal yang mendasar daripada sekedar mendata kekurangan peraturan pelaksanaan UUPA yang memang dianggap penting. Tetapi lebih dari itu diperlukan pemikiran yang tidak berhenti pada kuantitas peraturan yang masih diperlukan, namun terlebih pada kualitas kebijakan yang dihasilkan.
Kiranya hal inilah secara sosiologis, akan tampak semakin rumit dengan terbitnya berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang pertanahan menyongsong era perdagangan bebas. Kesadaran akan arti pentingnya melakukan reformasi di berbagai bidang dalam upaya untuk mencari jalan keluar dari krisis ekonomi, maupun sengketa tanah secara horizontal yang mulai dirasakan akhir tahun 1977, telah mendorong pemikiran kearah reformasi kebijakan di bidang pertanahan. Perkembangan yang dinamis tersebut, dikehendaki atau tidak, mendorong kearah perlunya pemikiran yang konseptual dalam rangka mengisi dan mengantisipasi perkembangan hukum tanah secara bertanggung jawab.

B. Liberalisasi Kebijakan Pertanahan; Dinamika Pedesaan Sampai Perkotaan
Liberalisasi ekonomi yang diartikan sebagai sistem perekonomian yang lebih mengarah pada mekanisme pasar merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar lagi. Saat ini yang diperlukan adalah antisipasi terhadap dampak keterbukaan ini, terutama dengan hadirnya berbagai investasi yang mau tidak mau harus memanfaatkan tanah yang merupakan sumberdaya alam yang langka, terutama berkaitan dengan hak/kemudahan yang diberikan, tanpa mengakibatkan kerugian terhadap rakyat.
Intensitas pembangunan yang menuntut penyediaan tanah yang relatif luas untuk berbagai keperluan (pemukiman, industri, dan berbagai prasarana) memaksa alih fungsi tanah pertanian, terutama di daerah pinggiran, menjadi tanah non-pertanian dengan segala konsekuensinya. Perkembangan yang terjadi tersebut boleh dikatakan hampir tidak menyentuh pola kehidupan petani penggarap yang semakin sulit untuk menghindarkan diri dari keterpaksaan melepaskan tanahnya, karena praktik perijinan yang memungkinkan alih fungsi tanah beradasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Daerah Tingkat II yang karena alasan kepentingan pembangunan mengarahkan alih fungsi tanah tersebut.
Secara sederhana konsekuensinya adalah bahwa Pemerintah berkewajiban menyediakan tanah yang diperlukan, baik untuk investasi maupun keperluan pembangunan lainnya, sedangkan tanah harus diambil dari rakyat karena tanah negara dapat dikatakan sudah sulit untuk dijumpai. Akibat selanjutnya adalah, bahwa tanpa intervensi dari Pemerintah, akses rakyat terhadap tanah baik di perdesaaan maupun di perkotaan, menjadi semakin berkurang.
Sementara itu dikalangan rakyat petani masih dapat dilihat kesenjangan antara mereka yang memiliki tanah kurang dari dua hektar dibandingkan dengan mereka yang memiliki tanah seluas dua hektar atau lebih. Pemilikan tanah dalam batas minimum itu pun masih dimungkinkan untuk dipecah menjadi bagian yang lebih kecil secara warisan. Hubungan hukum yang terjadi yang berkenaan dengan pemilikan dan penguasaan tanah pertanian pada umumnya dilakukan melalui lembaga gadai tanah, bagi hasil, atau penyakapan.
Walaupun ketentuan tentang gadai dan bagi hasil telah diterbitkan seusia UUPA, namun hubungan hukum yang terjadi pada umumnya mendasarkan pada norma-norma hukum setempat yang tidak tertulis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terhadap hubungan hukum tersebut masih diperparah dengan gejala pemilikan tanah secara guntai (absentee), dan kadang-kadang disertai dengan pelanggaran batas maksimum, yang dalam kenyataannya justru memberikan akses terhadap mereka yang dari segi kehidupannya tidak tergantung pada usaha pertanian.
Ketimpangan serta ketidakadilan yang dapat terjadi karena kurang berfungsinya secara efektif ketentuan hukum yang ada atau yang dilakukan melalui penyelundupan hukum itu menimbulkan pertanyaan: apakah tidak sejogjanya berbagai ketentuan yang ada tersebut ditinjau kembali untuk dilihat relevansinya dengan perkembangaan keadaan dan disempurnakan sebagaimana mestinya? Disamping itu tentu diperlukan upaya untuk menegakkan peraturan yang ada secara konsekuen dan konsisten.
Sebagai perbandingan, konservasi tanah pertanian di Filipina dilakukan melalui upaya Departemen Pertanian yang disebut Integrated Protected Area System (IPAS), yang bertujuan untuk melindungi tanah pertanian dan perubahan penggunaan yang kurang bertanggung jawab. Alih fungsi tanah pertanian hanya dapat dilakukan melalui keputusan melakukan relaksifikasi tanah oleh pemerintah daerah setelah melewati dengar pendapat yang intensif. Perubahan fungsi tanah pertanian tersebut berkisar antara lima persen sampai sepuluh persen dari keseluruhan tanah pertanian yang ada, tergantung dari kelas atau tingkatan perkotaan tersebut. Tanah pertanian hanya boleh dirubah fungsinya apabila tanah tersebut tidak sesuai lagi untuk usaha pertanian atau apabila nilai ekonomis yang diperoleh akan lebih besar jika tanah tersebut dipergunakan untuk pemukiman, perdagangan, atau industri sesuai dengan keputusan DPR setempat.
Uraian di atas lebih difokuskan pada situasi tekanan terhadap persediaan tanah pertanian, utamanya di pulai Jawa namun, kondisi di luar Jawa pun ternyata sudah memerlukan perhatian yang seksama. Sebagai contoh, di daerah Kalimantan barat yang di dominasi wilayah hutan, distribusi penguasaannya (HPH, HTI, perkebunan, transmigrasi, dan lain-lain) seringkali berakibat pada pengurangan akses masyarakat setempat terhadap tanah. Mengingat bahwa agro-industri diwilayah tersebut menjanjikan prospek yang cerah, kepentingan dan akses masyarakat setempat terhadap tanah perlu mendapatkan perlindungan agar tidak terdesak sama sekali. Hanya dengan pemahaman yang arif terhadap struktur masyarakat setempat, dan bagaimana kelembagaan yang ada berfungsi dalam masyarakat tersebut dengan hubungannya satu sama lain, serta memahami presepsi dan ekspektasi mereka terhadap hak atas tanahnya kebijaksanaan terhadap pendistribusian tanah tidak akan merugikan masyarakat setempat.
Disamping itu, distribusi tanah di perkotaan bukannya tidak mengalami masalah yang delematis. Salah satu contohnya kelemahan dalam penerapan manajemen tanah perkotaan tampak dari meningkatnya harga tanah yang mendorong timbulnya spekulasi, kelangkaan pengembangan tanah perkotaan untuk pemukiman, serta menjamurnya pemukiman liar. Pada umumnya, tanah perkotaan itu diperoleh melalui proses alih fungsi tanah pertanian, baik yang dilakukan Pemerintah maupun pidak swasta. Tersedianya sistem informasi pertanahan yang handal sangat diperlukan untuk mendorong manajemen pertanahan yang efesien dalam arti penggunaan tanah secara optimal.
Tidak jauh berbeda dengan akses tanah dipedesaan, di perkotaanpun akses rakyat jelata terhadap sebidang tanah untuk perumahan boleh dikatakan sangat sulit, namun di sisi lain terdapat badan hukum atau perorangan yag menguasai tanah perkotaan secara berlebihan dengan maksud investasi atau spekulasi. Walaupun sudah diisyaratkan UU 56/1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian bahwa mengenai batas maksimum tanah perkotaaan akan diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah (PP), namun PP termaksud sampai saat ini belum kunjung terbit.
Distribusi penguasaan tanah yang timpang telah menunjukkan dampak yang merugikan. Penguasaan tanah untuk industri dan pemukiman yang berskala besar telah memaksa alih fungsi tanah pertanian dengan segala konsekuensinya. Apakah dengan sendirinya penguasaan tanah secara besar-besaran itu harus dihentikan? Kiranya yang diperlukan dalam hal ini adalah sikap tegas dalam menegakkan kebijakan yang korektif, dalam arti kemampuan untuk pengendaliannya. Sudah saatnya pula Pemerintah meningkatkan berbagai upaya intervensi melalui kebijakan fiskal, penatagunaan tanah, pembentukan lembaga yang berfungsi sebagai Bank Tanah serta upaya lain. Dalam upaya pengendalian harga tanah karena harga tanah jelas berdampak pada akses seseorang tehadap sebidang tanah.
Dengan memahami secara utuh hubungan suatu masyarakat dengan tanahnya, akan terbuka kesempatan untuk melakukan komunikasi yang efektif serta akan memberikan peluang bagi masyarakat setempat untuk semakin terbuka terhadap perubahan dengan hal-hal baru yang positif dan bermanfaat bagi mereka, bukan melalui cara-cara yang bersifat paksaan, tetapi dengan jalan mengakui keberadaan mereka dan menghormati hak-haknya. Dalam kaitan ini seyogyanya dipahami bahwa keharusan untuk mengeluarkan suatu wilayah (enclave) yang secara nyata telah dimiliki oleh suatu masyarakat hukum merupakan hal yang sewajarnya dilakukan untuk menghindarkan tumpang tindihnya penguasaan tanah.
Dengan demikian, maka sikap yang diperlukan dalam menghadapi liberalisasi ekonomi dan dampaknya pada distribusi penguasaan tanah adalah sikap terbuka terhadap perubahan, antisipatif dalam merancang peraturan yang diperlukan, tetapi selektif menerapkan konsep-konsep yang ada, dan mengingat bahwa hukum dilihat sebagai satu sistem maka perancangan peraturan perundang-undangan haruslah menunjukkan cara berfikir yang holistik sehingga tidak terjadi inkonsistensi antara peraturan perundang-undangan yang membawa akibat ketidakpastian hukum.
C. Falsafah UUPA Terhadap Fungsi Sosial Hak atas Tanah
Memasuki abad ke-21, dalam usianya yang ke-36, falsafah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang diwujudkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang mendukungnya, dipertanyakan kembali. Setidaknya terdapat dua kelompok yang mewakili kecenderungan pemikiran yang berbeda terhadap orientasi kebijakan saat ini dan kebijakan yang akan dating. Penggunaan berbagai istilah, misalnya; reformasi, amandemen, ataupun revisi UUPA sesuai dengan defenisi masing-masing menyiratkan adanya keinginan untuk melihat kembali apakah falsafah UUPA masih relevan atau sudah saatnya ditinggalkan.
Sebagai landasan kebijakan pertanahan, falsafah UUPA yang dilandaskan pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 ditujukan untuk tercapainya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat dalam kaitannya dengan perolehan dan pemanfaatan sumber daya alam, khususnya tanah. Perbedaan pendapat tentang relevansi falsafah UUPA yang didasarkan pada kenyataan empiris tampak semakin tajam seiring dengan kebijakan deregulasi menyongsong era industrialisasi yang antara lain ditujukan untuk semakin menarik investasi modal asing.
Kelompok populis melihat bahwa dalam perkembangannya, UUPA melalui berbagai kebijakan yang ada telah semakin kurang mampu mengayomi hak-hak masyarakat. Sementara disisi lain, UUPA itu makin memberikan peluang atau kemudahan kepada mereka yang mempunyai akses terhadap modal dan akses politik dengan segala dampaknya. Gejala ketidakadilan berupa berkurangnya tanah pertanian dengan disertai penggusuran, hilangnya mata pencaharian petani, terancamnya pulau jawa sebagai gudang beras bertambahnya para land refugee, unsur spekulasi dalam penguasaan tanah yang dilakukan oleh pengembang perumahan dan pengusaha kawasan industri hanyalah beberapa contoh yang menjadikan keprihatinan utama kelompok populis.
Kenyataan empiris tersebut mendorong kelompok ini untuk mengupayakan peninjauan kembali berbagai kebijakan pertanahan yang berdampak terhadap ketidakadilan dan kesenjangan sosial. Sebaliknya kelompok yang cenderung berfikiran kapitalis justru berpendapat bahwa UUPA kurang tanggap mengantisipasi arus penanaman modal asing, kurang mendorong daya saing, kurang terbuka dan ketinggalan jaman, serta kurang memberi kelonggaran terhadap penanaman modal asing dan oleh karena itu UUPA perlu di revisi.
Dikotomi cara pandang terhadap UUPA sangat terkait erat pada implementasi fungsi sosial dan ekonomi hak atas tanah. Kecenderungan untuk memandang tanah lebih pada nilai ekonomisnya semata, yakni tanah sebagai barang dagangan yang tentunya lebih mudah dikuasai oleh mereka yang mempunyai kelebihan modal dan mengakibatkan ketimpangan distribusi penguasaan tanah karena perbedaan akses, jelas tidak sesuai dengan jiwa UUPA.
Dasar pemikiran Pasal 6 UUPA disebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ketentuan tersebut mendasari sifat kebersamaan atau kemasyarakatan dari setiap hak atas tanah. Dengan fungsi sosial tersebut, hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang tidak dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan pemilik sekaligus bagi masyarakat dan negara. Ketentuan tersebut tidak berarti kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum masyarakat. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan harus saling mengimbangi hingga tercapainya tujuan pokok, yaitu kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.
Konsep fungsi sosial hak atas tanah sejalan dengan hukum adat yang menyatakan bahwa tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat adalah tanah kepunyaan bersama seluruh warga masyarakat, yang dimanfaatkan untuk kepentingan bersama bagi warga masyarakat bersangkutan. Artinya kepentingan bersama dan kepentingan orang per orang harus saling terpenuhi dan penggunaannya dilakukan bersama-sama di bawah pimpinan penguasa adat. Untuk dapat memenuhi kebutuhan, setiap warga diberi kesempatan untuk membuka, menguasai, dan memanfaatkan bagian-bagian tertentu dari tanah adapt (ulayat). Dengan demikian, hak atas tanah menurut hukum adat bukan hanya berisi wewenang tetapi juga kewajiban untuk memanfaatkannya. Konsep pemilikan tanah menurut hukum adat tersebut kemudian direduksi dalam UUPA sebagai hukum tanah nasional.
Dengan demikian, tanah yang dimiliki oleh seseorang tidak hanya berfungsi bagi pemilik hak itu, tetapi juga bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sebagai konsekuensinya, penggunaan tanah tersebut tidak hanya berpedoman pada kepentingan pemegang hak, tetapi juga harus mengingat dan memperhatikan kepentingan masyarakat. Dengan catatan menjalankan prinsip keseimbangan kepentingan. Untuk itu, perlu adanya perencanaan, peruntukan, dan penggunaan hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UUPA. Artinya dengan menggunakan tanah sesuai rencana yang telah ditetapkan oleh Pemerintah berarti fungsi sosial atas sesuatu hak atas tanah telah terpenuhi.
Lebih jauh dari pada itu, bahwa fungsi sosial hak atas tanah mewajibkan para pemegang hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, yakni keadaan tanahnya serta sifat dan tujuan pemberian haknya. Apabila kewajiban tersebut diabaikan akan mengakibatkan hapusnya atau batalnya hak yang bersangkutan. Jika sesuatu hak atas tanah ditelantarkan maka haknya akan hapus dan tanahnya menjadi tanah negara. Berkaitan dengan fungsi sosial tersebut maka tanah tidak boleh dijadikan objek investasi semata-mata. Tanah yang dijadikan objek spekulasi, bertentangan dengan fungsi sosial karena akan menambah kesulitan dalam pelaksanaan pembangunan.
D. Hak Milik Atas Tanah Dalam Perspektif Sosiologi Hukum
Bersumber pada hukum adat sebagai sumber utama UUPA/Hukum Tanah Nasional, maka Hak Milik didefenisikan sebagai hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA. Memahami lebih jauh hak milik atas tanah, perlu kita tinjau berbagai konsepsi hukum meliputi konsepsi hukum tanah adat, konsepsi hukum tanah barat dan konsepsi hukum tanah feodal serta konsepsi hukum tanah lainnya.
Menurut hukum adat, hak milik atas tanah pada awalnya diperoleh dengan membuka tanah. Selanjutnya pemilikan tanah berkelanjutan dan dapat dijual belikan, diwariskan, dihibahkan, digadaikan dan sebagainya. Konsepsi hukum tanah adat yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat Indonesia, mengedepankan keseimbangan antara “kepentingan bersama” dengan “kepentingan perseorangan”. Pemilikan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan keselarasan, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 6 UUPA bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Menurut Sumantri, bahwa berbeda dengan konsepsi hukum tanah Barat dasarnya adalah “Individualisme” dan “liberalisme”. Secara asali individualisme adalah merupakan suatu ajaran yang memberikan nilai utama pribadi, sehingga masyarakat hanyalah merupakan suatu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi. Di dalam sistem hukum Belanda hak perorangan tersebut dinamakan “Hak Eigendom” dimana Eigemnya dapat berbuat apa saja dengan tanah itu baik menjual, menggadaikan, menghibahkan, menggunakan atau menelantarkan, bahkan merusakknya asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau hak orang lain.
Konsepsi komunis yang berkembang sejak pertengahan abad ke-19 melalui manifesto komunis oleh Karl Max dan Frederick Engels sangat berbeda dengan konsepsi individualisme liberal. Menurut konsepsi ini terjadinya kemelaratan sebagian besar rakyat karena hasil produksi tidak terbagi secara merata. Dan hal ini disebabkan karena tanah dan alat-alat produksi lain yang dimiliki orang perorangan. Dengan demikian maka tanah dan alat-alat produksi yang lain harus dimiliki bersama oleh rakyat supaya hasil produksi terbagi secara merata. Sedangkan dalam sistem hukum tanah yang berkonsepsi feodal, hak penguasaan yang tertinggi adalah “Hak Milik Raja”. Semua tanah di seluruh wilayah negara adalah milik raja. Tidak ada lagi penguasaan atas tanah yang setingkat hak milik, karena hak-hak penguasaan yang lain bersumber pada Hak Milik Raja dan mereka hanya pemakai/penggarap.
Jelas kiranya bahwa hal-hal yang diajarkan dalam berbagai konsepsi tersebut tidak sesuai hukum adat/nilai-nilai budaya rakyat Indonesia yang mengedepankan keseimbangan. Hak milik atas tanah yang dianut dalam hukum tanah nasional menjamin keseimbangan kepentingan individu dan kebersamaan. Pengkajian berbagai faktor yang merupakan variabel penentu kepastian hukum dilakukan melalui studi pustaka maupun penelitian langsung guna menemukan realitas hukum dalam masyarakat.
Dilihat dari kajian sosiologi hukum yang dimaksudkan untuk mengkaji dan menganalisis realitas hukum dan konsistensi tujuan pendaftaran tanah. Belum lahirnya peraturan pemerintah tentang terjadinya hak milik menurut hukum adat dan Undang-undang tentang hak milik tanah, kajian dilakukan terhadap peraturan perundangan yang ada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 UUPA. Kajian diarahkan terhadap variabel-variabel yang relevan meliputi landasan hukum, peraturan perundang-undangan, asas-asas pendaftaran tanah, kebijakan pertanahan, dan lain-lain (das sollen), dan selanjutnya dilakukan pengkajian variabel-variabel penentu lahirnya kepastian hukum dalam realitas masyarakat (das sein).
Sistem Pendaftaran Tanah Indonesia yang menganut stelsel negatif dengan tendensi positif, intinya adalah segala apa yang tercantum dalam buku tanah dan sertifikat, berlaku sebagai tanda bukti hak yang kuat sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar).
Beberapa hal yang merupakan faktor penentu lahirnya kepastian hukum, dapat dikelompokkan ke dalam landasan Yuridis-Normatif, landasan sosioyuridis dan kebijakan pertanahan. Faktor-faktor tersebut secara formil maupun materiil mempunyai peranan yang sangat menentukan timbulnya kepastian hukum hak milik atas tanah yang telah memperoleh sertifikat. Hal ini sesuai dengan asas nemo plus juris yang mendasari sistem pendaftaran tanah Indonesia yang menganut stelsel negatif dengan tendensi positif, yaitu negara tidak menjamin kebenaran data yang diperoleh dari pemohon hak tanah dari data itu. Kebenaran hukum ditentukan oleh hakim dalam proses peradilan.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hak milik tanah yang sudah terdaftar dan memperoleh sertifikat telah mendapat jaminan kepastian hukum hak tanahnya. Kepastian hukum yang dimaksudkan meliputi kepastian hak, kepastian objek dan kepastian subjek serta proses administrasi penerbitan sertifikat. Hal ini jelas dinyatakan sebagai salah satu tujuan pendaftaran tanah di Indonesia yang bersifat rechts kadaster.
Perwujudan peradilan sosial dibidang pertanahan dapat dilihat dalam prinsip-prinsip dasar UUPA, yakni prinsip ‘negara menguasai’, prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah masyarakat hukum adat, asas fungsi sosial semua hak atas tanah, prinsip landreform, prinsip perencanaan dalam penggunaan tanah dan upaya pelestariannya, dan prinsip nasionalitas. Prinsip dasar ini kemudian dijabarkan dalam berbagai produk berupa peraturan perundang-undangan dan kebijakan lainnya. Dalam praktik dapat dijumpai berbagai peraturan yang bias terhadap kepentingan sekelompok kecil masyarakat dan belum memberikan perhatian serupa kepada kelompok masyarakat yang lebih besar. Bila kita sepakat bahwa berbagai kebijakan pertanahan harus ditujukan bagi tercapainya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat, maka beberapa hal perlu diperhatikan.
Yang menjadi bagian awal ialah, prinsip-prinsip dasar UUPA tidaklah bersifat statis. Dinamika perkembangan selama 36 tahun menghendaki diadakannya interpretasi dan reinterpretasi terhadap prinsip-prinsip tersebut secara bertanggungjawab. Menghadapi perkembangan baru, kebijakan yang ditempuh haruslah dilaksanakan dengan tetap taat asas, yakni sesuai dengan konsepsi yang melandasinya, namun akomodatif terhadap perkembangan tersebut.
Berkenaan dengan hak atas tanah masyarakat hukum adat, kearifan sangatlah diperlukan sejauhmana negara mengakui hak-hak tersebut disamping menekankan perlunya dipenuhi kewajiban yang melekat pada hak itu? Disamping prinsip-prinsip tersebut diatas, Pemerintah mempunyai komitmen untuk memberikan kepastian hukum terhadap hak atas tanah yang dipunyai oleh orang perseorangan atau badan hukum berupa upaya pendaftaran tanah dengan tujuan untuk lebih memberikan perlindungan hukum pemegang hak atas tanah.
Kemudian prinsip selanjutnya, tidak perlu ada kekhawatiran bahwa keberpihakan kepada kepentingan masyarakat banyak sesuai dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, secara langsung berakibat berkurangnya perhatian kepada investasi modal asing. Kebijakan apa pun yang dibuat semestinya memerhatikan keseimbangan antara berbagai kepentingan.
Dalam optik sosiologi hukum, keinginan untuk melakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan pertanahan yang menyangkut hak milik atas tanah, seyogianya dipahami sebagai keinginan untuk menilai secara arif apakah produk hukum yang telah ada dan sedang dirancang terutama dalam rangka menarik investasi tidak berat sebelah. Sepanjang falsafah UUPA masih relevan, peninjauan kembali bukanlah ditujukan kepada UUPA, melainkan terutama dimaksudkan untuk mengganti, menambah, atau menyempurnakan peraturanperaturan pelaksanaan UUPA.
Di Indonesia ini, masih perlu perhatian yang lebih banyak bagi sebagian terbesar lapisan masyarakat, yang belum sepenuhnya mendapatkan haknya untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah. Tanpa mengurangi arti penting menyediakan peranti hukum untuk mendukung industrialisasi dan meningkatkan daya saing, maka penegasan orientasi kebijakan sangatlah diperlukan.
Menggeser kebijakan pertanahan ke arah pemikiran yang cenderung kapitalis di mana tanah ditempatkan pada fungsi ekonomi dan aksesnya diserahkan pada mekanisme pasar, akan semakin menjauhkan diri terhadap pemberian makna konkret tercapainya keadilan sosial yang menjadi misi utama UUPA. Dengan demikian perlu adanya gagasan progresif menuju reformasi kebijakan pertanahan.
E. Menuju Reformasi Kebijakan Pertanahan Progresif
Adalah Satjipto Rahardjo, atau Prof. Tjip panggilan akrab beliau yaitu seseorang yang dijuluki Begawan sosiologi hukum Indonesia yang pertama kali mencetuskan gagasan hukum progresif. Gagasan ini kemudian mencuat kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih lanjut.
Apa yang digagas oleh Prof. Tjip ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum di Indonesia. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.
Dilihat dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah berhenti.
Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai yang sedang mencari jati diri–bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20. Dalam proses pencariannya itu, Prof. Tjip kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia adalah dominasi paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat.
Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip dasar kebijakan di bidang pertanahan yang telah digariskan oleh Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria atau UUPA. Seiring dengan semakin derasnya kecenderungan global terhadap penguasaan dan penggunaan tanah, semakin dirasakan pula perlunya melakukan pembaruan pola pikir yang mendasari terbitnya berbagai kebijakan di bidang pertanahan selama ini.
Pertambahan jumlah penduduk kelangkaan tanah dan kemunduran kualitasnya, alih fungsi tanah dan semakin tajamnya konflik dalam penggunaan tanah antarberbagai aktor pembangunan dalam berbagai tingkatan; kemiskinan, sempitnya lapangan kerja dan akses yang timpang dalam perolehan dan pemanfaatan tanah, serta semakin terdesaknya hak-hak masyarakat hukum adat, hanyalah beberapa contoh kenyataan yang harus dihadapi saat ini.
Dalam perjalanan waktu, setidaknya ada titik balik perubahan sebagai dasar berpijak untuk pembuatan kebijakan pertanahan progresif di masa yang akan datang. Kebijakan di bidang pertanahan ditujukan untuk, yakni efisiensi dan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, pelestarian lingkungan serta pola penggunaan tanah yang berkelanjutan. Untuk tercapainya efisiensi dapat ditempuh berbagai pendekatan dengan berpijak pada aspek urgensi, konsistensi, dan resiko.
Tujuan untuk tercapainya keadilan sosial dapat dijabarkan melalui beberapa aspek misalnya, peran tanah sebagai dasar untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan, identifikasi pihak-pihak yang dirugikan dalam berbagai konflik kepentingan serta sikap terhadap tanah-tanah masyarakat hukum adat.
Tujuan yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup menghendaki tersedianya peraturan tentang penggunaan tanah yang komprehensif, kemampuan menggali peran serta masyarakat setempat dalam pengelolaan sumber daya alam, serta koordinasi cabang-cabang administrasi yang efektif.
Menerjemahkan orientasi kebijakan dengan memperhatikan ketiga tujuan tersebut masih belum mencukupi. Diperlukan penjabaran berbagai aktivitas yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Berbagai sarana tersebut beruapa tersedianya peraturan perundang-undangan yang mampu menjabarkan berbagai aspek dari orientasi kebijakan dan tujuannya, yakni:
(1) demokratisasi berupa pengawasan terhadap kekuasaan, jaminan stabilitas politik sebagai akibat demokratisasi, dan perlindungan hak asasi manusia;
(2) peningkatan kepastian hukum melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang diperlukan dan pelaksanaannya konsisten;
(3) pemberdayaan kelembagaan yakni memperkuat administrasi pertanahan, meningkatkan kemampuan sumber daya manusia pendukung dan transparansi dalam proses pembuatan keputusan;
(4) meningkatkan insentif ekonomi dengan berupa efektifitas perpajakan dan transparansi di dalam pasar tanah; dan
(5) menetapkan batas-batas kewenangan pemerintah berupa perumusan tanggungjawab pokok dan pengembangan model kemitraan antara swasta dan pemerintah.
Pada akhirnya, kebijakan pertanahan apapun yang diterbitkan berdasarkan orientasi serta tujuan dan sarana yang mendukung itu tidak akan mencapai sasaran bila tidak diterima dan disikapi serta ditindaklanjuti oleh para pelaksananya secara konsisten. Reformasi dalam arti perubahan pola pikir dan tindakan aparat pelaksana dalam fungsi pelayanan kepada masyarakat, sangat dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan kebijakan pertanahan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam rangka menyempurnakan/merancang peraturan perundang-undangan perlu dilatarbelakangi dengan orientasi yang jelas dan tujuan yang hendak dicapai, yang secara simultan terdiri dari tiga komponen, yakni; pertumbuhan ekonomi serta pemerataan; keadilan social, serta pelestaraian lingkungan dan pola penggunaan tanah yang berkelanjutan. Akhirnya, peraturan perundang-undangan yang terwujud diharapkan dapat mencerminkan perlindungan hak asasi manusia, peningkatan kepastian hukum, transparansi dalam pengawasan, dan sistem pertanggungjawaban yang jelas, sebagai wujud konkrit menuju reformasi kebijakan pertanahan progresif.
Reformasi agraria mutlak perlu untuk memfasilitasi pertanian berkelanjutan sebagai basis dari agribisnis di pedesaan. Termasuk dalam hal ini antara lain: kepastian kepemilikan lahan yang menjadi salah satu faktor resiko usaha pertanian saat ini, pencegahan fragmentasi dan upaya konsolidasi lahan pertanian, pengendalian konversi lahan pertanian, serta pengaturan sistem sakap-menyakap dan bagi hasil lahan pertanian. Seiring dengan pembaruan agraria, perlu dilakukan program penguatan hak rakyat atas tanah dan pemberdayaannya. Program ini harus sinergi dengan melibatkan semua instansi yang terkait.
Tujuannya agar tanah dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan cara memberdayakan petani melalui penguatan hak atas tanah. Langkah yang ditempuh adalah pertama, redistribusi tanah dengan pemberian hak milik atas tanah (termasuk sertifikat tanah); kedua, konsolidasi tanah;
B. Saran


Kebijakan agraria sehatusnya mampu untuk memberikan manfaat yang baik bagi masyarakat di indonesia agar setiap permasalahan dapat di selesaikan dengan baik dan tidak mengalami permasalahan yang merugikan pihak tertentu.
Oleh karena itu pemerintah sangat berperan aktif dalam menetapkan kebijakan tersebut, harus benar-benar memperbaiki agraria dengan reformasi yang dijalankan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.
Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia, Malang, 2007.
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jambatan, Jakarta, 1994.
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2006.
____________________, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan, Kompas, Jakarta, 2007
____________________, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta, 2008.
Rusmadi Murad, Menyikap Tabir Masalah Pertanahan, Mandar Maju, Bandung, 2007.
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum “perkembangan dan metode masalah”, Muhammadiyah University Press, Universitas Muhammadiyah Surakarta,2002.