Kamis, April 28, 2011

KOTA BATAM

Geografis Pulau Batam

Kota Batam yang merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Riau ini memiliki luas wilayah daratan seluas 715 km² atau sekitar 115% dari wilayah Singapura, sedangkan luas wilayah keseluruhan mencapai 1.570.35 km². Kota Batam beriklim tropis dengan suhu rata-rata 26 sampai 34 derajat celsius. Kota ini memiliki dataran yang berbukit dan berlembah. Tanahnya berupa tanah merah yang kurang subur.



Batas-batas Kota Batam:

Arah Utara berbatasan dengan Singapura dan Malaysia.




Arah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Lingga

Arah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karimun

Arah Timur berbatasan dengan Pulau Bintan dan Tanjung Pinang

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama dsan etnis yang merupakan potensi sumber daya manusia yang bila diorginir secara optimal dan diposisikan dalam kerangka cita-cita yang sama yakni pancasila, akan melahirkan kekuatan yang besar. Namun dari sisi yang lain, kemajemukan ini akan menimbulkan konflik sosial dan perpecahan kesatuan bangsa, apalagi kalau dimotori oleh politik dan kepentingan tertentu. Seperti yang dapat dilihat dari fenomena konflik yang berkepanjangan antara etnis Tionghoa dengan pribumi. Semenjak adanya keberadaan mereka di sekitar masyarakat, seakan-akan masyarakat pribumi terusik dengan keberadaan mereka. Dimulai dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terhadap etnis Tionghoa yang cenderung mendiskriminasikan mereka, sehingga berimbas pada hubungan interaksi sosial antara etnis Tionghoa dengan pribumi. Pada akhirnya muncul berbagai macam pertikaian antara warga pribumi dengan warga Indonesia keturunan Tionghoa.
Warga Indonesia yang keturunan Tionghoa merasa semakin terpojokkan dengan ditambah isu mengenai ”Anti Cina” yang semakin digembor-gembor pada era Orde Baru. Ideologi Pancasila masih belum maksimal sebagai dasar pacuan negara Indonesia pada saat itu, karena warga keturunan Tionghoa belum diterima secara penuh sebagai orang kita. Mereka tidak bisa mengeluarkan pendapat, diskriminasi pribumi terhadap etnis keturunan Tionghoa juga dilatari masalah politik seperti dalam kesempatan menduduki jajaran aparat desa/pemerintahan, warga keturunan etnis Tionghoa tidak diberi kesempatan dan posisi dalam menduduki jajaran aparatur desa maupun pemerintahan.
B. Tujuan
Memberikan tambahan pengetahuan kepada pembaca terhadap bentuk-bentuk kebijakan kepada warga tionghua di Indonesia dari dulu hingga sekarang.





BAB II
PEMBAHASAN
A. Peradaban Etnis Tionghua
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku, ras dan agama (majemuk). Kemajemukan ini diperlihatkan oleh adanya berbagai golongan etnis yang ada didalamnya di bawah suatu negara kebangsaan (Baarth, 1988: 17).
Di Indonesia yang poli-etnis, yang terdiri dari banyak suku, budaya dan bahasa mampu membentuk national identity yang merekatkan warganya ke dalam satu kepentingan bersama. Namun, Indonesia juga harus akomodatif terhadap para imigran yang datang dengan model pluralisme budaya di dunia lama (yang terjadi pada masa lampau), meski masih menunjukkan beberapa persoalan identitas dan pengakuan terhadap kehadiran mereka. Dan yang paling menonjol pada permasalahan ini adalah pengakuan terhadap etnis-nation Tionghoa, meskipun kehadiran etnis ini sudah berabad-abad lalu dan (seharusnya) sudah terintegrasi dalam multinational state, Indonesia.
Kebhinekaan yang tidak terakomodasi dengan baik akan menimbulkan jarak sosial, yang pada akhirnya menjadi konflik sosial. Telah diketahui bahwa warga etnis Tionghoa bukanlah warga asli yang serumpun dengan negara Indonesia. Sehingga dalam penentuan kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah terkadang berbeda dengan kebijakan yang diberlakukan terhadap warga pribumi. Bukan hanya sebatas kebijakan saja, namun perlakuan warga pribumi juga cenderung mendiskriminasikan warga Indonesia keturunan Tionghoa. Dari sekian banyak etnis yang ada di kota-kota di Indonesia khususnya Jawa Tengah, etnis keturunan Tionghoa-lah yang sering menjadi sasaran amuk massa dari warga pribumi. Tragedi yang terakhir adalah tanggal 13–15 Mei 1998, di mana kota Jakarta dan kota besar lainnya terjadi kerusuhan, penjarahan, pengrusakan dan pembakaran rumah, toko, mobil perusahaan yang hampir seluruhnya milik warga etnis keturunan Cina. Khusus kerusuhan di kota-kota besar yang telah menimbulkan korban yang besar.
Masyarkat Tionghoa Indonesia terbagi menjadi tiga kelompok, Yang pertama ingin memelihara ikatan politik maupun budaya dengan Tiongkok, yang kedua berharap hanya mempertahankan ikatan budaya dan bukan politik, dan yang terakhir berupaya untuk memutuskan ikatan baik budaya maupun politik dengan Tiongkok. Pandangan kedua dan ketiga kelihatannya memiliki basisnya di Indonesia (Leo Suryadinata:2005). Masyarakat pribumi Indonesia memandang kalangan Tionghoa mendominasi ekonomi Indonesia, tapi kalangan Tionghoa menilai status ekonomi mereka dengan cara yang agak berbeda. Sementara banyak tokoh kalangan Tionghoa tidak menyangkal bahwa masyarakat Tionghoa di Indonesia kuat dalam perdagangan, perbankan, dan manufaktur, mereka tidak merasa mendominasi ekonomi Indonesia. Karena mengakui adanya ketimpangan antara kalangan Tionghoa dan massa Indonesia, mereka mengusulkan beberapa solusi yang semuanya menolak diskrimminasi rasial sebagai cara untuk memecahkan masalah ekonomi. Perlahan-lahan kebijakan yang diberlakukan pemerintah berubah-ubah, sesuai dengan gaya kepemimpinan yang dibangun oleh para pemimpin negara Indonesia.
B. Masa Presiden Sukarno (1950-1965).
Seteloah kemerdekaan, etnis Tionghoa terbagi menjadi dua bagian, yakni secara cultural dan ekonomi. Sekalipun demikian dalam ekonomi secara umum minoritas Tionghoa nampak tetap kuat.. Setelah kemerdekaan Indonesia, ada masyarakat Tionghoa yang mengidentifikasikan diri mereka dengan Tiongkok, baik secara politik maupun budaya. Tetapi, sejumlah besar masyarakat Tionghoa peranakan mengidentifikasikan diri mereka secara politik dengan Indonesia, walaupun secara budaya mereka ingin tetap sebagai orang Tionghoa Indonesia (Leo Suryadinata:2005).
Karena Republik muda itu dengan perlahan memusatkan diri pada pembangunan bangsa, tidak ada kejelasan tentang politik terhadap golongan Tionghoa. Di satu pihak pemerintah baru berkehendak memasukkan etnis Tionghoa juga ke dalam proses pembangunan bangsa. Akan tetapi di pihak lain, pemerintah menerapkan perlakukan diskriminatif, terutama di bidang ekonomi menghadapi minoritas etnis Tionghoa. Sejak awal Indonesia tidak memberlakukan kebijakan asimilasi. Pada zaman demokrasi terpimpin, kebijakan integrasi dan asimilasi dilaksanakan secara bertahap. Mula-mula warga Negara Indonesia yang keturunan Tionghoa tidak diperbolehkan mendirikan sekolah Tionghoa, aktivitas orang Tionghoa asing pun mulai dibatasi. Namun, kebijakan asimilasi secara total baru diberlakukan sejak lahirnya Orde Baru (Leo Suryadinata:2002). Hal ini menunjukkan betapa terbelenggunya dan sempitnya ruang gerak warga Indonesia keturunan Tionghoa pada saat itu.
Terdapat dua peraturan pemerintah yang sangat jelas memberikan dampak pada politik ekonomi Indonesia. Salah satunya apa yang disebut sebagai Sistim Benteng yang diperkenalkan pada permulaan 1950-an yang melarang orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa melakukan bisnis impor dan ekspor. Hal ini menyebabkan apa yang disebut dengan sistim Ali Baba, yakni orang-orang Tionghoa yang dilarang tersebut menggunakan orang pribumi untuk dipasang namanya di depan alias kompanyon tidur yang tidak kerja apa-apa. Yang kedua berbentuk PP No.10 tahun 1959 yang melarang orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa melakukan perdagangan eceran di daerah pedesaan. Peraturan ini telah menyebabkan eksodusnya orang-orang Tionghoa dari pedalaman negeri ini, membuat ekonomi Indonesia kacau. Dua macam tindakan tersebut tidak membuat kekuatan ekonomi etnik Tionghoa menjadi lemah.
Dari fenomena tersebut banyak pemimpin pribumi yang cemburu terhadap status ekonomi etnis Tionghoa yang juga melakukan kampanye perlawanan.
Gerakan penentangan yang paling menonjol dipimpin oleh Assaat, salah seorang pemimpin Republik yang kemudian meloncat ke dalam bisnis. Persoalan menjadi lebih rumit karena bergolaknya Perang Dingin antara kubu Barat berhadapan dengan kubu Komunis yang saling menjatuhkan. Golongan etnik Tionghoa sering digambarkan dengan tuduhan sebagai kaki tangan Tiongkok Komunis. Sesungguhnyalah banyak kekerasan anti-Cina termasuk sejumlah kerusuhan dalam periode ini dipicu oleh politik, hal itu merupakan juga manifestasi dari rasa tidak puas terhadap kelompok minoritas tersebut.
C. Masa Suharto (1966-1998).
Pada 1966 Jenderal Suharto menjadi penguasa baru Indonesia yang memerintah negeri ini selama 32 tahun. Sukarno yang anti-kolonialis itu kemudian dijatuhkan oleh kaum militer Indonesia yang pro-Barat. PKI juga disapu bersih dari percaturan kekuasaan politik Indonesia. Politik Suharto terhadap etnik Tionghoa mengandung dua dimensi: budaya dan ekonomi. Dalam bidang budaya ia memperkenalkan politik asimilasi total dengan menghapuskan tiga pilar budaya Tionghoa, yakni sekolah, organisasi dan media Tionghoa. Dalam bidang ekonomi penguasa baru ini memberikan kesempatan kepada etnik Tionghoa. Hal ini berhubungan dengan strategi besarnya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan Indonesia untuk memberikan legitimasi kekuasaannya. Dengan begitu ia membuka pintu Indonesia serta menerapkan politik pro-bisnis.
Periode 1969-1981 adalah periode awal pembentukan berbagai macam peraturan yang terkait dengan etnis Tionghoa beserta dengan perumusan konsep asimilasi yang ingin dijalankan bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Pada tahap awal dan akhirnya menjadi dasar dari semua peraturan pemerintah adalah tiga keputusan yang ditetapkan oleh MPRS tahun 1966. Ada tiga jenis peraturan yang jelas ditujukan bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Pertama, Resolusi MPRS No. III/MPRS/1966 dengan jelas pada salah satu bagiannya menyatakan asimilasi sebagai satu-satunya jalan bagi etnis Tionghoa untuk meleburkan diri. Kedua, Resolusi MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan secara tegas mendesak pemerintah untuk mengeluarkan Undang-undang larangan terhadap sekolah-sekolah asing dan agar pemerintah membina kebudayaan-kebudayaan daerah. Ketiga, Resolusi MPRS No. XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers menyatakan bahwa penerbitan pers dalam bahasa Tionghoa merupakan monopoli pemerintah.
Dengan dikeluarkannya Resolusi MPRS No. III/MPRS/1966, asimilasi telah ditetapkan dan dipastikan menjadi satu-satunya cara yang akan dipakai oleh pemerintah maupun etnis Tionghoa sendiri untuk melebur ke dalam negara kesatuan Indonesia. Untuk itu, dalam periode ini, ada beberapa hal yang dibuat dan dipilih sebagai cara untuk menjalankan asimilasi bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Cara-cara asimilasi yang terjadi pada periode ini adalah penggantian nama, pembentukan badan pengawas etnis Tionghoa, pembatasan praktik agama, kebudayaan, dan adat istiadat Tionghoa, serta pengaturan pendidikan asing.
Pada periode 1981-1998 politik asimilasi secara garis besar, ada empat pokok yang menjadi titik perhatian pada periode ini. Yang pertama adalah pelarangan kembali budaya Cina. Perhatian yang kedua adalah pembauran ekonomi, yaitu ekonomi pribumi gaya baru. Yang ketiga adalah penciptaan sistem pengawasan kewarganegaraan yang terpadu. Dan yang keempat adalah “reorganisasi”, yaitu pemangkasan Bakom PKB.
Secara yuridis, segala budaya Cina telah ditolak dan dilarang oleh pemerintah dalam segala bentuknya. Warisan budaya Cina itu dianggap berbahaya karena dapat menghambat proses asimilasi yang sedang digalakkan oleh pemerintah. Lebih lanjut, tidak hanya aksara Cina yang dilarang. Semua teks yang memakai tulisan mandarin dilarang. Bahkan, surat yang sedikit saja mengandung tulisan mandarin ditolak dan tidak akan dikirimkan oleh Kantor Pos Indonesia. Penayangan film maupun video yang menggunakan bahasa Cina dilarang. Segala hal yang berafinitas dengan budaya Cina dilarang. Meskipun demikian, di sana-sini masih saja terdapat berbagai macam budaya Cina yang masih dijalankan meski tidak dalam skala yang meriah dan nasional. Sebagai contoh, budaya Imlek masih dijalankan meski sejak tahun 1993 telah dilarang. Pemerintah seolah diam saja dengan kenyataan itu semua. Pemerintah menyadari bahwa hal itu akan mendatangkan keuntungan yaitu pungutan-pungutan bagi mereka yang terang melanggar peraturan dari pemerintah.
Peraturan pemerintah menjadi senjata untuk merampok orang-orang Tionghoa. Ini pertama-tama untuk menunjukkan bahwa pemerintah sebetulnya memiliki kuasa. Dari semua pelarangan budaya tersebut, motif di balik semua pelarangan adalah motif ekonomi. Aturan-aturan hukum budaya tersebut memiliki basis ekonomi. Pemerintah ingin menunjukkan kekuatannya dalam melakukan tawar menawar ekonomi.
Berlakunya Keppres No. 14A tahun 1980 dan Keppres no. 18 tahun 1981 menjadi pilar utama dari kemenangan pengusaha pribumi. Meskipun demikian, ternyata pengusaha nonpribumi yang besar bisa menyediakan barang dan jasa bagi pemerintah, tanpa harus berpartner dengan pengusaha pribumi. Ekonomi pribumi yang ditetapkan tahun 1969–1981 ternyata tidak berhasil. Untuk itu, perlu dibentuk sebuah “ekonomi pribumi gaya baru”. Stereotip bahwa etnis Tionghoa menguasai ekonomi masih diterapkan dan dijalankan. Untuk itu, berbagai macam larangan budaya digiatkan untuk memaksa mereka turut menjalankan program “pembauran di bidang ekonomi.”
Hal ketiga yang terkait dengan peraturan dalam asimilasi pada periode ini adalah penciptaan pengawasaan kewarganegaraan yang lebih terpadu. Pada periode sebelumnya, etnis Tionghoa harus memiliki formulis K-1 dan KTP yang memiliki tanda “O”. Untuk memperoleh formulir K-1 tersebut, mereka terlebih dahulu harus memiliki SKBRI yang proses untuk memperolehnya sangat lama dan mahal. Pada periode ini, persyaratan itu coba dilunakkan. Tanda “O” pada KTP dihilangkan karena KTP lebih mudah untuk dipalsukan. Sementara itu, SKBRI dihilangkan karena semua etnis Tionghoa diandaikan sudah memiliki SKBRI, apalagi proses untuk memiliki SKBRI cukup lama dan mahal. Etnis Tionghoa hanya harus memiliki formulir K-1 yang lebih bersifat individual dan murah. Dengan demikian, pengawasan dapat berjalan dengan lebih efektif dan efisien. Normalisasi ini berjalan dengan lebih mudah seiring dengan membaiknya hubungan antara Indonesia dengan RRC.
Persoalan asimilasi yang keempat adalah keberadaan Bakom PBK. Bakom PKB ini menjadi kelanjutan dari LPKB. Akan tetapi, badan ini sudah tidak memiliki taring dan sering hanya dijadikan alat untuk melaksanakan program-program yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pembauran. Untuk itu, Bakom PKB akhirnya dibubarkan. Maka, semakin jelas bahwa etnis Tionghoa tidak dilibatkan dalam memutuskan masalah pembauran etnis Tionghoa di Indonesia. Orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa jelas sangat bermanfaat dalam bidang ekonomi, maka ia menggiringnya ke arah itu, sedang secara politik mereka dicurigai. Sementara di bidang ekonomi etnik Tionghoa dapat menikmati kebebasan, tetapi di bidang politik mereka didiskriminasikan. Akibat yang tidak direncanakan dari politik ini ialah meningkatnya kekuatan ekonomi etnik Tionghoa. Pada saat yang sama secara politik mereka menjadi sangat rentan terhadap serangan, keamanan mereka berada di tangan penguasa pribumi. Sejumlah peristiwa anti-Cina setiap kali terjadi, umumnya dalam skala kecil.
Indonesia merupakan contoh sebuah negara yang mempunyai “masalah Cina” yang teramat kompleks. Salah satu masalah tersebut erat kaitannya dengan identitas kultural mereka sebagai golongan etnis non pribumi, terhadap identitas kultural mayoritas penduduk golongan etnis pribumi. Bertolak dari asumsi tersebut jelas bahwa kemungkinan terjadinya konflik antar etnis terutama golongan etnis keturunan Cina amatlah besar (Gungwu, 1991). Untuk menghindari timbulnya konflik-konflik serta mencegah timbulnya tragedi yang pernah terjadi, sekaligus guna menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, maka perlu perekat sosial yang dapat menyatukan pandangan, sikap, cita-cita antara warga pribumi dan non pribumi, khususnya golongan etnis keturunan Cina dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Krisis ekonomi pada 1997 menyebabkan timbulnya kerusuhan tahun berikutnya. Kerusuhan dalam skala besar beberapa di antaranya direkayasa dengan sengaja kekerasan anti-Cina meledak di Jakarta, Sala dan beberapa kota besar Indonesia lainnya. Kerusuhan bulan Mei 1998 ini berbeda dari peristiwa kekerasan sebelumnya, bukan saja berupa penjarahan, pembunuhan dan pembakaran harta benda, tetapi juga terjadinya perkosaan sistimatik terhadap kaum perempuan Tionghoa. Kekerasan itu punya motif politik, dalam beberapa hal berhubungan dengan persaingan kekuasaan. Hal ini telah meninggalkan lembaran hitam dalam sejarah Indonesia.
Berbagai konflik antar etnis telah merebak di berbagai wilayah Indonesia, yang pada awalnya disulut dengan isu anti Cina. Masalah anti Cina menjadi pembicaraan yang hangat sejak peristiwa Mei 1998. Padahal masalah antar etnis khususnya Cina, telah diatur dalam kebijakan asimilasi yang dicanangkan oleh pemerintah orde baru sejak tahun 1967. Kebijakan itu antara lain meliputi pelarangan sekolah-sekolah dan penerbitan-penerbitan berbahasa Cina, pembatasan aktivitas ritual keagamaan tradisional kelompok etnis keturunan Cina pada lingkup keluarga dan mendorong penggantian nama Cina menjadi nama Indonesia. Selain itu penduduk keturunan Cina dianjurkan untuk melakukan kawin campur atau masuk Islam (Lan, 1999). Meskipun demikian model perekat sosial antar etnis tersebut belum mampu menjawab persoalan konflik etnis keturunan Cina dengan komunitas pribumi secara tuntas.
Setelah kerusuhan Mei 1998, situasi begitu porak poranda, akhirnya Suharto dipaksa turun panggung dan menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, Habibie yang memimpin pemerintahan pertama setelah lengsernya Suharto.
D. Masa Reformasi.
Masa setelah era Suharto terjadi bersamaan dengan perubahan dunia internasional. Terjadi globalisasi dan demokratisasi yang berdampak terhadap Indonesia dan banyak bagian dunia lainnya. Citra negeri Tiongkok juga telah berubah, negara itu tidak lagi dipandang sebagai pengekspor revolusi, tetapi mereka dipandang sebagai negara yang menghendaki situasi status quo.
Perlu dicatat bahwa Perang Dingin telah berakhir pada 1989/1990, ideologi Komunisme tidak lagi menjadi masalah dalam hubungan Indonesia-Tiongkok. Bahkan selama bagian terakhir kekuasaan Suharto, hubungan Indonesia-Tiongkok mengalami kemajuan, tetapi kejatuhan Suharto memicu kecepatan proses hubungan baik. Bangkitnya Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi tidak saja punya pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara, tetapi juga punya dampak ke seluruh dunia. Kekuatan ekonomi Tiongkok tidak lagi dapat diremehkan, kekuatan perangkat lunak (soft power) mereka disambut baik secara luas.
Walaupun diskriminasi etnis belum terkikis habis, namun minoritas etnis mulai mendapat jaminan, sekurang-kurangnya dari sudut hukum. Sejak runtuhnya rezim Soeharto, etnis Tionghoa Indonesia mulai memberikan suara baru dan lebih menonjol sejak tragedi bulan Mei 1998 melanda masyarakat Tionghoa di Indonesia. Para penulis Tionghoa di Indonesia, yang bergabung dalam beberapa kelompok sastra, mulai menyuarakan pendapat dan perasaan mereka. Namun ‘ketionghoaan’nya ini tidak sama seperti stereotipe ketionghoaan yang sering dibayangkan sebagian warga Indonesia karena unsur ketionghoaan sudah bercampur dengan tradisi Indonesia. Orientasi dan referensinya bukan lagi kepada negara leluhur, akan tetapi bumi Indonesia dengan semangat keindonesiaan.
Walaupun tulisan yang diterbitkan tidak semuanya memfokus pada kebijakan negara Indonesia terhadap etnik Tionghoa, kesemuanya menyentuh peran negara dan dampaknya terhadap minoritas Tionghoa, serta persoalan etnisitas di Indonesia. Kedudukan etnik Tionghoa sebagai nonpribumi mengemuka dalam semua tulisan dengan faktor sejarah dan budaya sebagai penyebab utama. Di samping itu, semua artikel memberikan sekelumit gambaran tentang proses adaptasi minoritas Tionghoa. Dengan munculnya pemerintahan yang lebih demokratis di Indonesia serta globalisasi, proses adaptasi etnik Tionghoa di Indonesia mungkin mengalami perubahan. Dalam tingkatan tertentu, multikulturalisme akan lebih efektif dibandingkan dengan asimilasi.
Meskipun demikian, pembangunan nasional Indonesia masih jauh dari selesai. Seiring dengan menguatnya persoalan identitas keetnisan, nasionalisme bisa terancam menjadi ‘nasionalisme suku bangsa’ yang sempit.Di Indonesia telah terjadi demokratisasi. Terdapat juga kemajuan fundamental secara bertahap dalam bidang hukum dan status politik etnik Tionghoa. Kemajuan ini sebagai dampak dari perubahan situasi Indonesia maupun internasional yang terjadi sebelumnya. Pemerintah baru menyadari bahwa guna meningkatkan kondisi ekonomi Indonesia, partisipasi etnik Tionghoa sangat menentukan. Pemerintah Indonesia pasca Suharto telah menerapkan berbagai tindakan yang memberikan juga peluang bagi kaum etnik Tionghoa. Ada manfaatnya untuk meninjau langkah-langkah politik tersebut.
E. Masa Presiden Habibie.
Pada pemerintahan transisi Presiden Habibie, etnis Tionghoa mulai sedikit demi sedikit diakui keberadaannya sebagai warga bangsa yang sama dengan warga lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan mulai dihapuskannya kebijakan yang berbau stigma terhadap etnis Tionghoa, diantaranya adalah penggunaan kata Tionghoa untuk mengganti sebutan Cina. Meski demikian, tetap saja ada beberapa menteri pada era Habibie seperti Menteri Koperasi, Adi Sasono yang menggulirkan semangat ekonomi kerakyatan, dituduh anti-Tionghoa. Kebijakannya membuat kalangan Tionghoa was-was, karena berimplikasi munculnya sentimen anti-Tionghoa dan terjadinya dikotomi antara kaum pribumi dan non pribumi.
Agar isu ini tidak membangkitkan sentimen anti-Tionghoa yang memicu tindak kekerasan terhadap etnis cina seperti di pra reformasi, maka dikeluarkanlah Inpres no 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak dibutuhkan lagi.
Habibie juga mengeluarkan Instruksi Presiden No.26/1998 yang mencabut penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi. Selama kekuasaan Suharto kedua istilah ini dengan bebasnya digunakan oleh media massa untuk merujuk berturut-turut pada orang Indonesia asli dan Indonesia keturunan Cina, pada saat itu berbagai peraturan pemerintah bagi keuntungan golongan pertama.
F. Masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Habibie digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 1999 melalui pemilihan umum. Selama pemerintahannya, Gus Dur mengeluarkan Peraturan Presiden No.6/2000 yang mencabut Instruksi Presiden No.14/1967 yang jahat itu yang dikeluarkan pemerintahan Suharto. Inpres itu melarang segala bentuk ekspresi agama dan adat Tionghoa di tempat umum. Dengan pencabutan larangan tersebut maka terbuka jalan bagi etnik Tionghoa untuk menghidupkan budaya tradisional mereka.
Dalam tahun 2000, Gus Dur juga mengumumkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional sukarela. Selama kekuasaan Suharto, tahun baru itu tidak dirayakan, etnik Tionghoa dilarang merayakannya secara terbuka. Toko-toko milik etnik Tionghoa dilarang tutup dalam Tahun Baru Imlek.
Pengaturan dalam Undang-Undang ini sama dengan Penetapan Presiden Nomor 1. Pn. Ps. Tahun 1965 yang mengakui enam agama. Dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden tersebut, secara tidak langsung telah menyingkirkan agama Khonghucu yang pada sensus tahun 1976 penganutnya mencapai jumlah satu juta orang. Hal tersebut di atas telah membuat beberapa hak asasi dari penganut agama Khonghucu telah dilanggar. Kebebasan untuk memeluk agama, beribadah, hak-hak sipil, banyak dilanggar dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 1470/1978. Instruksi Presiden ini seakan telah menyingkirkan umat Khonghucu.Hal ini masih diikuti beberapa pengaturan lain yang makin mediskriminasikan umat Khonghucu.
Selama lebih dari 20 tahun umat Khonghucu terombang-ambing dengan ketidakpastian. Akhirnya, pada masa reformasi, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dengan adanya Keppres ini, umat Khonghucu dapat menjalankan segala sesuatu yang berkaitan dengan agamnya tanpa rasa takut lagi.
G. Masa Presiden Megawati.
Gus Dur tidak sampai menyelesaikan masa kepresidenannya dan digantikan oleh wakilnya, Megawati Sukarnoputri. Megawati memaklumkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional, berlaku mulai 2 Februari 2003. Hal ini tidak berubah sampai pergantian presiden berikutnya.
Pasca Reformasi, warga Tionghoa pun mulai memiliki kesempatan yang terbuka lebar untuk terjun dalam kancah kehidupan sosial ekonomi politik. Salah satu contoh keterlibatan mereka dalam kehidupan politik bangsa ini tampak dalam diri para politikus seperti Kwik Kian Gie dari Partai PDI yang sempat jadi Menteri dan Alvin Lie dari partai Demokrat. Mungkin inilah saatnya bagi warga Tionghoa untuk membuktikan diri dalam memberi kontribusi positif bagi semua aspek kehidupan seperti Ignatius Haryanto, Robertus Robert yang sering menulis diberbagai media, misalnya di majalah Mingguan Hidup tanpa harus secara langsung mereka menulis tema tentang Tionghoa, ataupun Christoper Nugroho yang dipercaya menangani urusan sumber daya manusia di partai Demokrat. Sistem Multi Partai setelah reformasi juga memberi peluang warga Tionghoa untuk berkecimpung dalam partai politik misalnya: dengan munculnya partai Tionghoa. Kesadaran baru akan partisipasi sosial, ekonomi dan politik akan membuka wawasan berpikir seluruh warga Tionghoa. Untuk itu, sebuah transformasi nilai–nilai hidup yang radikal amat diperlukan agar warga Tionghoa mendapatkan kesejahteraan dan kepuasan batin yang adil/setara dengan warga yang lain.
H. Masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pada 2004, SBY dipilih sebagai presiden baru. Selama pemerintahannya telah dikeluarkan dua undang-undang penting, UU No.12/2006 tentang kewarganegaraan Indonesia dan UU No.23/2006 tentang pendaftaran penduduk. Frans Hendra Winarta telah membahas kedua undang-undang ini secara mendalam (dalam buku yang memuat artikel ini). Sekalipun demikian saya hendak menyampaikannya secara singkat bahwa undang-undang kewarganegaraan baru ini telah menyerap prinsip-prinsip demokrasi. Sedang undang-undang tentang kependudukan dengan menggunakan konsep dasar nasional dan bukan etnik dalam pendaftaran penduduk Indonesia.
Meski begitu, tetap saja ada kebijakan-kebijakan ambigu yang diberlakukan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam Republika presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam perayaan Imlek menandaskan dihapusnya diskriminasi antara Indonesia asli dan bukan asli. Status kewarganegaraan Tionghoa di kedua Undang-Undang ini agak berbeda. Di Undang-Undang Kewarganegaraan, warga etnis Tionghoa disebut sebagai warganegara Indonesia asli, namun untuk urusan administrasi, warga Tionghoa tidak termasuk dalam rumusan” asli”. Secara politik inilah yang disebut dengan pasal-pasal karet, misalnya suatu aturan Undang-Undang tentang Pendidikan Nasional masih harus dijelaskan dengan Keppres dan PerMen. Kebijakan Kewarganegaraan etnis Tionghoa dalam UU Kewarganegaraan Juli 2006 sudah cukup bagus namun dalam UU Administrasi Kependudukan yang keluar setelahnya, terdapat pasal yang seolah-olah memberi definisi” warganegara asli” yang berbeda bagi etnis Tionghoa. Dalam bingkai demokrasi, produk UU ini sudah mengalami perubahan dibandingkan era Orde Baru, semangat anti-Tionghoa sebenarnya sudah berkurang.
Perkembangan selama Masa Reformasi sangat memberikan harapan. Berbagai peraturan pemerintah dalam hubungannya dengan masalah etnik Tionghoa menggunakan pendekatan demokratis dan multikultural, dengan sudut pandang guna lebih memakmurkan Indonesia. Saya pribadi percaya multikulturalisme akan bermanfaat bagi Indonesia melalui peneyerbukan silang budaya.
Konflik inter-etnis juga dapat terjadi ketika ada diantara mereka anggota yang tidak sejalan secara ideologi ataupun tidak serupa dengan ciri etnis yang ada. Seperti yang terjadi dalam penolakan pada minoritas kaum cina benteng yang terpisah dari kelompok etnis cina yang utama hanya karena perbedaan pada ciri fisiknya. Dalam wilayah tertentu, pandangan yang menyatakan kesamaan etnis untuk mengelompokkan etnis didasarkan pada adat kebiasaan dan pandangan yang khas tidak cocok untuk diterapkan pada masyarakat yang latar belakang dan cara hidupnya berbeda, sehingga homogenitas etnis tetap dipertahankan meskipun terdapat beragam cara hidup dan bentuk sosial (Fredrik Barth, 1988). Penyebaran masyarakat yang berangkat dari budaya yang sama membentuk ciri etnis yang berbeda ketika masyarakat tersebut mulai menyebar dan beradaptasi dengan lingkungan tempat masing-masing dari mereka menetap dan tinggal.


Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kelompok etnis dapat berdiri berdasarkan atas asas primodialisme dan konstruktifisme, namun kelompok etnis juga dapat berubah dari berlandaskan asas primodial menjadi konstruktif. Hal ini dikarenakan sikap terbuka dari masing-masing etnis untuk menerima keberadaan etnis lain. Proses asimilasi dan akulturasi budaya dapat terjadi pada kelompok etnis dengan paradigma terbuka ini dapat merubah ciri etnis yang ada. Intensitas interaksi sosial-ekonomi yang terjadi antar etnis dapat membuat satu kelompok etnis yang tadinya bersifat primodial, menjadi konstruksial dengan kesadaran akan kemajemukan dan kesadaran akan keadaan sosial-politik-ekonomi yang terjadi pada saat itu
Setelah melalui proses pergantian pemimpin, warga Indonesia keturunan Tionghoa tidak lagi dipaksa melakukan asimilasi, mereka tetap boleh memelihara budaya dan identitas etnik, tetapi diharapkan berintegrasi dalam masyarakat Indonesia yang lebih besar.
Iklim yang lebih maju ini akan berlanjut menjadi dorongan bagi suku Tionghoa untuk bekerja bagi Indonesia yang lebih baik. Secara khusus lagi, bagi etnis Tionghoa, perlu diadakan penyadaran yang berkelanjutan tentang posisi serta eksistensi etnis Tionghoa sebagai bagian yang sama dan sejajar dengan etnis-etnis yang lainnya dalam satu bangsa Indonesia. Dalam hal ini, luka-luka sejarah hendaknya tidak menjadikan primordialisme kelompok semakin kental tetapi semakin membuka ke arah rekonsiliasi sosial yang memerdekakan.
Realitas pluriformitas lantas menjadi kekayaan yang melengkapi Indonesia sebagai sebuah bangsa; sementara luka sejarah atas diskriminasi dan konflik sosial yang terjadi dipandang sebagai proses pembelajaran ke arah tercapainya konsolidasi kebangsaan yang berkarakter multikultur nan adil, meski perlu disadari pula bahwa usaha itu tidak dapat sekaligus memberikan hasil yang tampak. Usaha untuk mendukung konsolidasi sebagai satu bangsa Indonesia ini harus terus menerus dilakukan, terlebih bagi kaum minoritas seperti etnis Tionghoa.
Adanya kesewenangan oknum aparat yang dapat mempengaruhi ketidakadilan dalam proses perwujudan tata ekonomi, tata sosial, tata politik dan dalam ketidakadilan dalam tata budaya secara struktural. Bukan hanya sampai disitu saja, dalam pembuatan kartu tanda penduduk nomor seri yang diberlakaukan terhadap warga Indonesia keturunan Tionghoa juga berbeda dengan warga pribumi. Kebijakan asimilasi yang dicanangkan oleh pemerintah orde baru sejak tahun 1967. Kebijakan itu antara lain meliputi pelarangan sekolah-sekolah dan penerbitan-penerbitan berbahasa Cina, pembatasan aktivitas ritual keagamaan tradisional kelompok etnis keturunan Cina pada lingkup keluarga dan mendorong penggantian nama Cina menjadi nama Indonesia.
Perubahan politik menuju demokrasi dibeberapa negara berkembang sering diawali dengan krisis ekonomi kemudian runtuhnya rezim otoritas dan berakhir pada pergolakan reformasi yang menuntut demokrasi (Georg Sorensen, 2003). Perubahan politik ini juga terjadi di Indonesia, bermula dari pergantian rezim Orde Lama menjadi rezim Orde Baru, kemudian runtuhnya secara paksa otoritas rezim Orde Baru dan sampai sekarang munculnya era reformasi yang menuju kearah demokrasi.
Tak elak, kebijakan-kebijakan yang dilahirkan dari masing-masing rezim pasti selalu beruibah-ubah sesuai dengan pemikiran sang pemimpin dan juga berimplikasi terhadap warga Indonesia keturunan Tionghoa. Dari penjelasan diatas, telah diperlihatkan bahwa seakan-akan warga etnis Tionghoa terbelenggu atas kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah, teutama pada rezim Orde Baru dan ruang demokrasi terasa sempit bagi mereka. Untuk mengetahui perkembangan kebijakan terhadap warga Indonesia keturunan Tionghoa, maka akan dilakukan pembahasan lebih lanjut.
Periode revolusi kemerdekaan merupakan bagian penting dari sejarah Indonesia yang berisikan kisah perjuangan diberbagai bidang seperti diplomasi, militer, jurnalisme, sastra, kesehatan, dan lain sebagainya. Di antara komponen bangsa yang turut berjuang dalam revolusi kemerdekaan adalah masyarakat Tionghoa. Peran serta mereka di dalam tahap awal berdirinya Republik Indonesia menunjukan bahwa orang Tionghoa, seperti juga kelompok masyarakat lain, merasa Indonesia adalah tanah air mereka yang kedaulatanya wajib mereka bela.
Namun, Dalam pembahasan kali ini, penulis menekankan bahwa satu sikap etnis tionghoa tidak akan mewakili sikap etnis tionghoa lainnya Karena sangat tidak adil jika seorang individu dianggap keumuman atas banyak individu lainnya. Kita perlu mengetahui bahwa Peran Tionghoa, kami artikan adalah sebagai “individu” Tionghoa, bukan masyarakat tionghoa secara umum. Artinya, sikap baik ataupun sikap kurang baik, tertuju pada satu individu. Kita akan melihat dualisme masyarakat Tionghoa dalam masa revolusi khususnya.




• Politik Pemerintah Indonesia Terhadap Tionghua Masa Demokrasi Terpimpin
Berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 5 juli 1959, yang didasarkan oleh Dekrit Presiden membuat Indonesia memulai babak baru yang sering disebut dengan era Demokrasi Terpimpin. Soekarno menjadi pemimpin utama pemerintahan Republik Indonesia dan gerakan politik Indonesia, yang ia namakan Revolusi Indonesia.
Kedudukan Etnis Tionghoa pada masa Demokrasi Terpimpin lebih sering ditentukan oleh keberadaan Presiden Soekarno yang menekankan pada ideologi politik dalam menstranformasi masyarakat Indonesia secara radikal. Berdasarkan Undang-undang 1945 kekuasaan mutlak berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dengan kata lain kedudukan Presiden tidak tergantung pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ia diangkat dan dipecat hanya oleh MPR (Djin 1999:300-301). Dalam menciptakan Undang-undang (UU), presiden harus bekerja sama dengan DPR, setiap UU harus disetujui oleh DPR dan anggaran negara harus juga disetujui oleh DPR sebelum digunakan. Presiden tidak memiliki kekuasaan dalam membubarkan DPR, sebaliknya pengaruh DPR terhadap kekuasaan Presiden hanya bisa disalurkan melalui MPR, karena anggota DPR otomatis menjadi anggota MPR.
Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah tidak mengatasi masalah perekonomian yang melanda bangsa ini, namun malah menjadikan kondisi yang terbalik. Resesi ekonomi dan kemerosotan serta kekacauan bidang ekonomi menyebabkan pemerintah mulai merangkul kembali Etnis Tionghoa untuk memperbaiki kondisi perekonomian yang semakin parah. Pemerintah berpandangan bahwa Etnis Tionghoa dianggap memegang peranan penting dalam kondisi ini.
Di Kudus pernah hadir seorang pengusaha Etnis Tionghoa yang dimasa Orde Baru menjadi orang terkaya se-Indonesia dia adalah Liem Sioe Liong (Sudono Salim). Liem Sioe Liong lahir di Fuqing (Fujian, dan karenannya adalah orang Hokchia). Ia merupakan seorang putera keluarga petani kecil. Pada umur 16 tahun di Negerinya terjadi perang saudara, Liem eksodus ke Jawa tepatnya di Kudus 1945-1949. Di Kudus dia menjalankan usaha berdagang. Pada tahun 1952 ia meninggalkan Kudus ke Jakarta kemudian kembali ke Kudus untuk mendirikan Pabrik tekstil Muliatek (Suryadinata 2002:134-136). 4.5 Kehidupan Sosial Budaya Etnis Tionghoa Peranakan di Kudus. Masyarakat Tionghoa di Kudus pada masa demorasi terpimpin pada umumnya merupakan Etnis Tionghoa peranakan. Seorang tokoh senior Etnis Tionghoa peranakan di Kudus, Iwan Budi Raharja mengatakan: “kami dilahirkan disini dan merupakan generasi ke-tiga dari Kakek buyut kami, disini hampir seluruh keluarga tidak pandai berbahasa Tionghoa. Kami tetap menjalankan tradisi (adat) orang tua kami yaitu dengan datang ke klenteng walaupun saat ini kebanyakan Etnis Tionghoa telah memeluk agama Katolik, maupun Agama yang lainnya” (wawancara tanggal 16 April 2005).
Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM (Menkum dan Ham), Hamid Awaluddin,
merealisasikan janjinya mempermudah perolehan status WNI bagi anak-anak hasil perkawinan
campuran. Pemberian status itu berdasarkan Pasal 41 UU No 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan.
Sebanyak 13 anak secara simbolis diberikan kewarganegaraan ganda terbatas yang sekaligus menandai dimulainya babak baru bagi warga negara asing yang berpeluang memperoleh status WNI. Dengan demikian, ketika berusia 18 tahun anak-anak itu dapat memilih menjadi WNI atau warga negara salah satu orang tuanya.
Di Indonesia, kontroversi seputar kewarganegaraan sudah ada sejak masa kemerdekaan, terutama pengakuan terhadap warga Tionghoa. Diakui atau tidak kaum etnis Tionghoa selalu menjadi korban kebiadaban dari rezim yang berkuasa. Mereka dijadikan instrumen pemerintah untuk mendatangkan dan mencari sumber-sumber ekonomi yang potensial dan produktif, tetapi di sisi lain hak-hak kewarganegaraannya diberlakukan diskriminatif. Padahal, etnis Tionghoa di Indonesia terbilang paling banyak dan produktif, terutama dalam bidang ekonomi, perdagangan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun demikian, mereka tetap mengalami kesulitan menjadi tenaga kerja negara (birokrat) dan pemimpin politik di Indonesia.
Eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia bukanlah hal baru. Pengakuan terhadap eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia telah dilakukan sejak zaman kemerdekaan. Bahkan keberadaannya telah dimasukkan ke dalam proses integrasi nasional yang dimulai sejak era kemerdekaan sampai dengan tahun 1990-an menjelang jatuhnya rezim Orde Baru Soeharto. Namun hubungan ini kerap diwarnai oleh persoalan serius yaitu masalah “Pribumi dan Tionghoa” yang muncul secara laten dan sporadis, dan kerap menjadi alat politik dari para elit politik untuk mewujudkan cita-cita dan kepentingan politiknya.
Menurut pendapat lain, jumlah etnis Tionghoa di antara 2,5 % dan 3 % atau bahkan lebih
besar, yaitu berkisar antara 4-5%. Sensus tahun 2000 tidak memberikan jumlah etnis Tionghoa
yang lengkap. Hasil perhitungan menunjukkan angka 1,7 juta, atau kira-kira 0,86 %.
Dalam perhitungan Leo Suryadinata, Arifin dan Ananta, dengan merujuk pada data sensus
tahun 2000, jumlah penduduk Tionghoa (WNI dan WNA) mencapai kira-kira 3 juta orang, yaitu
sekitar 1,5%. Jumlah ini lebih besar daripada sensus tahun 1930. Namun angka dalam persen
lebih rendah dibandingkan sensus pada tahun 1930. Menurunnya persentase etnis Tionghoa
mungkin disebabkan oleh tiga faktor utama:
(1) Angka kelahiran yang menurun,
(2) Imigrasi keluar negeri akibat gejolak politik dan sosial,
(3) Kebijakan asimilasi yang terjadi selama Orde Baru.
Kebijakan negara terhadap minoritas etnis Tionghoa merupakan suatu hal yang berdampak signifikan bagi integrasi nasional di Indonesia. Namun upaya pengintegrasian tersebut tidak pernah berjalan mulus. Menurut sejarah, masyarakat kolonial telah membeda-bedakan antara penduduk Indonesia berdasarkan ras atau suku bangsa yang mempengaruhi pemikiran kaum nasionalis Indonesia, mengakibatkan terpisahnya peranakan
Tionghoa dari pergerakan nasional Indon esia Sementara itu, nasionalisme Tionghoa muncul lebih awal dari nasionalisme Indonesia
Nasionalisme Tionghoa termasuk peranakan, tumbuh terpisah dari dan yang dikehendaki pemerintah Indonesia “rezim Orde Baru” dengan kebijakan asimilasinya. Di satu sisi kecenderungan mempertahankan identitas etnisnya terdapat pada sebagian warga Tionghoa, sedangkan di sisi lain mereka telah merasa menjadi bagian dan warga negara Indonesia Nasionalisme Indonesia selalu dikonstruksi berdasarkan konsep “kepribumian” (indigenous), dan etnis Tionghoa dikategorikan sebagai orang asing atau Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) yang dianggap bukan merupakan bagian dari nation Indonesia.

• Kesukubangsaan
Sementara itu, di kalangan etnis Tionghoa, berkembang perasaan bahwa kedudukan mereka di Indonesia masih sebagai “orang asing” karena elite dan massa di kalangan pribumi menitikberatkan pentingnya menerapkan konsep kesukubangsaan dalam masyarakat Indonesia. Rupanya konsep pribumi sebagai “tuan rumah” telah berakar di bumi Indonesia. Etnis Tionghoa dianggap sebagai nonpribumi dan pendatang baru yang tidak bisa diterima sebagai suku bangsa
Indonesia sebelum mereka mengasimilasi diri.
Meminjam perspektif Supardi Suparlan, pribumi juga mempunyai stereotipe tentang etnis
Tionghoa. Etnis Tionghoa dilihat sebagai kelompok yang menduduki tangga ekonomi lebih
tinggi dan terpisah dari pribumi. Implikasinya, konsep masyarakat majemuk yang menekankan
pada kesukubangsaan, akan selalu menempatkan posisi orang China sebagai orang asing, walaupun orang tersebut berstatus WNI. Secara umum ada pandangan yang mengatakan bahwa etnis Tionghoa yang non pribumi harus membaur menjadi pribumi kalau ingin diterima sebagai orang Indonesia Di satu sisi kecenderungan untuk mempertahankan identitas etnisnya terdapat pada sebagian warga etnik Tionghoa, sedangkan di sisi lain, mereka telah merasa menjadi bagian dari masyarakat Indonesia Kerusuhan Mei 1998 telah membuka mata kaum Tionghoa, dan sekaligus memberikan kesadaran baru tentang masalah rasialisme ini. Dengan runtuhnya rezim Orde Baru Soeharto, kebijakan pemerintah Indonesia juga berubah. Politik asimilasi telah dihapuskan secara resmi. Pilar-pilar kebudayaan Tionghoa dipulihkan kembali, meskipun pembukaan sekolah Tionghoa ala pemerintahan Soekarno masih tidak diizinkan. Kebebasan menggunakan bahasa Tionghoa telah diakui, bahkan perayaan festival etnik Tionghoa juga telah diizinkan oleh negara. Walaupun diskriminasi etnis belum terkikis habis, namun minoritas etnis Tionghoa mulai mendapat jaminan, sekurang-kurangnya dari sudut hukum.
Dengan munculnya era reformasi dan pemerintahan yang demokratis serta semakin terbukanya pintu globalisasi, proses adaptasi etnis Tionghoa di Indonesia mengalami perubahan secara radikal. Dalam tingkatan tertentu, para akademisi dan analis sering mengungkapkan bahwa multikulturalisme adalah cara yang lebih efektif ketimbang asimilasi.












BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Terlihat jelas bahwa politik pemerintah Indonesia terhadap etnik Tonghoa banyak mengalami perubahan sejak tercapainya kemerdekaan. Di waktu lampau banyak undang-undang dan peraturan yang tidak menguntungkan etnik Tionghoa. Tetapi sejak jatuhnya Suharto dalam masa reformasi telah banyak membawakan perubahan–politik, budaya dan hukum yang bermanfaat bagi suku Tionghoa.
Pada fenomena ini dibutuhkansuatu pendekatan struktural, yakni suatu peraturan atau kebijakan yang dikeluarkan secara konstitusi dapat melindungi suatu etnis dari ancaman etnis lain ataupun dari ancaman kepunahan suatu etnis. Perlindungan kenegaraan dibutuhkan untuk menciptakan hubungan sosial antar etnis yang harmonis sehingga dapat mendukung pembangunan nasional. Keputusan-keputusan yang mempunyai kekuatan kenegaraan dapat meminimalisir konflik etnis yang terjadi selama Negara tidak memihak pada satu kelompok etnis saja. Intervensi Negara dalam wacana etnis harus dilakukan secara hati-hati. Karena kelompok etnis, baik yang terbentuk secara primodial ataupun konstruksial, mempunyai pandangan yang fanatik terhadap eksistensi etnisnya. Fanatisme inilah yang perlu dirubah atau diperbaiki sesuai dengan pendekatan utama diatas.
B. Saran
Perlunya representasi tiap-tiap etnis dalam memajukan Negara dapat mengurangi konflik etnis yang terjadi. Munculnya tokoh-tokoh dalam pembangunan yang mewakili satu etnis dapat menularkan rasa cinta tanah air kepada anggota-anggota etnis yang sama dengannya. Orang-orang yang terpilih ini dapat meredam konflik eksistensi etnis yang terjadi dan menjadikan perbedaan etnis menjadi potensi pembangunan yang dapat berjalan secara sinergis.






DAFTAR PUSTAKA

Barth, Frederick (1988). ’’Kelompok Etnis dan Batasannya’’, terjemahan Nining L.S. Jakarta : UI Press.s
Gungwu, Wang . (1991). “Kajian Tentang Identitas Orang Cina di Indonesia dalam Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara”. Terjemahan Ahmad. Jakarta : Grafiti Press
Lan, Thung Ju. (1999). ”Masalah Cina : Konflik Etnis Yang Tak Kunjung Selesai” dalam Jurnal Antropologi Sosial Budaya Tahun XXIII N0. 58 Januari-April. Jakarta : Fisipol UI.
Sorensen, Georg (2003). “DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI”, Pustaka Pelajar : Yogyakarta.
Suryadinata, Leo.(2002).”Negara Dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia”, Jakarta : LP3ES.
Suryadinata, Leo.(2005). “Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002”, Jakarta : LP3ES
Sumber Internet:
http://gerakanindonesiabaru.blogspot.com/2009/02/diskriminasi-terhadap-etnis-tionghoa.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2000/01/03/AG/mbm.20000103 .AG 110812.id.html

KEBIJAKAN PUBLIK